Cabang Baru Angkringan Mas Jo

Hello world, I’m coming back again after a long and long and long while! Ada kabar apa di jagad maya ini? One thing that I’m sure enough adalah, nggak ada yang heboh-heboh amat ngepoin keberadaan saya selama masa hibernasi, right?

Tapi kabar gembiranya adalah Angkringan Mas Jo buka cabang di Gegerkalong. Sounds great, isn’t it? Mungkin udah satu atau satu setengah bulan yang lalu Mas Jo cerita kalau dia mau buka lapak kesekian di Gegerkalong. Satu orang “punggawa”nya diutus untuk jagain cabang di Gegerkalong ini. Dan mumpung kejebak macet di Setiabudhi, saya kabur aja deh dari bis Bandung-Indramayu, nyamperin cabang baru itu.


Di persimpangan antara Jalan Gegerkalong Girang dan Gegerkalong Tengah itulah saya lihat spanduk ngejreng warna merah dengan tulisan warna putih: Angkringan Mas Jo. Adalah Yono, atau Roy -begitu ia punya nama beken- yang saya lihat sedang asyik mengipasi arang agar baranya tetap menyala.

“Wah, Mbak Intan! Kenapa di sini? Kangen ya?” begitu sapanya, akrab seperti biasa. Saya langsung mencomot gorengan, sate usus, sate ampela, dan sate kikil, plus nasi isi orek tempe favorit saya.
“Haha… ya enggak lah! Mumpung tadi kejebak macet di depan. Kata Mas Jo dia buka cabang di sini. Gimana, rame?”
“Haha… alhamdulillaah Mbak, rame. Kemarin aja baru balik jam dua!”
“Wah, syukur deh!”

Tampilan angkringan Mas Jo yang di Gegerkalong ini minimalis. Cuma ada satu gerobak yang dipenuhi rupa-rupa sate, gorengan, tempat bakaran. Cuma ada dua bangku kayu panjang di dua sisi. Selebihnya? Nggak pake lebih. Berbeda dengan induknya yang di Gelap Nyawang sana yang luas, lega, dan bisa dipakai nongkrong lama-lama.

Tapi tampilan yang minimalis ini bikin saya inget sama Jogja, kota asal lapak-lapak angkringan. Mirip betul (kecuali angkringan yang dekat rel kereta di Jogja, yang lapaknya luas banget itu). Rata-rata angkringan di Jogja ya cuma satu gerobak doang, ditambah satu atau dua kursi kayu buat orang nongkrong.

Lupakan sejenak soal rasa kangen ke Kota Pelajar itu. Mari kita balik ke realita. Sampai mana kita tadi?

Di cabang Gegerkalong, kita nggak bisa nemuin menu nasi goreng mawut atau bakmi jawa. Secara yang jaga gawangnya cuma satu. Jadi, puas-puasinlah nikmatin 4 macam nasi kucing, tahu tempe bacem, gorengan, dan rupa-rupa sate. Soal nasi, kita bisa pilih nasi dengan pilihan 4 T; nasi tempe (nggak bertanda), nasi tongkol (tanda kertas pink), nasi teri (tanda kertas kuning), dan nasi telur (tanda kertas putih). Satenya kurang lebih ada sate telur puyuh, sate kikil, sate kulit ayam, sate ati ayam, sate ampela, sate kerang, sate tutut, dan sate usus. Untuk minuman, kita bisa nikmatin wedang jahenya yang hangat. Soal harga, masih terjangkau lah dengan kantong mahasiswa, kisaran Rp 1.000,00 sampai Rp 5.000,00. Masih sama dengan angkringan induknya di Gelap Nyawang.

Beberapa orang, yang saya kira adalah mahasiswa, datang. Dari wajahnya, saya tebak mereka excited sama angkringan. Mungkin mereka baru datang ke angkringan macam ini. Langsung saja Mas Roy diberondong pertanyaan, ‘ini apa? Itu apa? Nasinya ada apa aja?’, yang kemudian dijawab dengan ramah oleh Mas Roy. Kemudian sepasang suami istri dan seorang anak datang, juga excited.

“Nah, gini nih Mah yang namanya angkringan! Kayak di Jogja!” lalu si istri mengambil beberapa sate untuk dibungkus. Lain lagi dengan seorang teteh yang datang dan menanyakan ada nasi putih polos nggak di sana. Hari belum juga maghrib, tapi pembeli sudah datang berganti-ganti.

“Enak kan, di sini?” tanya Mas Roy. Saya mengangguk saja karena sedang mikirin Jogja.
“Di sini mah nggak ada bancinya Mbak! Haha.” Mas Roy tertawa. Saya juga. Betul katanya. Hampir satu jam saya nongkrong di situ dan belum melihat satupun pengamen, apalagi banci. Atau mungkin saya datang terlalu “pagi”? Aih, saya jadi ingat ledekan Mas Jo saat saya pamit setelah makan di angkringannya di Gelap Nyawang beberapa hari lalu:

“Mau kemana, Mbak? Banci juga belum pada nongol, udah mau pulang aja! Haha.”

Saya menyeruput es teh manis yang rasanya manis sekaligus sepet karena komposisi teh melati biangnya pekat sekali (dan ini yang bikin teh angkringan Mas Jo juara!).

“Iya sih nggak ada banci. Tapi di sini nggak ada mas-mas ngamen yang ganteng, nggak kayak di Gelap Nyawang!” celetuk saya.
“Siapa? Yang kribo itu? Haha…”


Kesederhanaan dan keramahan (selain tentu soal rasa) macam itulah yang membuat saya selalu mampir ke angkringan Mas Jo, bukan ke angkringan yang lain. Sukses untuk cabang barunya ya, Mas Jo!




*ups, sori tulisan ini nggak pakai foto. Janji deh kalau ke sana lagi, saya bawa kamera dan hasil jepretannya saya pasang di sini :D

Comments

Moocen Susan said…
wah jadi penasaran sama fotonya hayo diupload mak

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi