Mengungkapkan Simpati

Sewaktu Bapak meninggal beberapa tahun yang lalu, para tetangga berbisik melihat kami yang tidak menunjukkan ekspresi kesedihan- dalam hal ini menangis meraung-raung. Mereka bertanya-tanya, apakah kami tidak sedih kehilangan seorang yang paling berharga untuk kami. Saat itu, kami menyambut para pelayat yang datang dengan segaris senyum, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, membuatkan minuman, bahkan akhirnya mengobrol ke hal lain yang satu-dua di antaranya menimbulkan tawa. Mamah sibuk mengurusi persoalan administrasi. Bibi memasak di dapur, berjaga-jaga barangkali ada pelayat dari jauh yang kelelahan dan butuh makanan.

Kami tidak bisa mengatakan bahwa kami tidak menangis. Saat Bapak menanggalkan nafasnya satu-persatu, kami menitikkan air mata. Begitupun ketika Bapak dimandikan, dikafani, dan dimakamkan. Kami menangis meski ungkapan kesedihannya tidak seperti apa yang diharapkan orang-orang. Rasanya, kami tidak bisa untuk sekedar mengabarkan kabar duka ini. Kami tidak begitu menyukai ungkapan simpati. Saya, yang hari itu seharusnya ujian, hanya bisa menghubungi dosen penguji yang kemudian, tanpa saya ketahui, menyebarkannya ke teman-teman. Hanya dalam waktu beberapa menit, ungkapan simpati berdatangan. Saya menangis setiap menerima ungkapan itu. Beberapa orang kawan juga menyempatkan datang ke rumah. Mereka lebih banyak diam atau menanyakan bagaimana kronologis Bapak meninggal. Selebihnya, kami kembali membincang hal-hal di luar itu untuk mengalihkan suasana yang tidak begitu nyaman.

Saat itu, saya benar-benar tidak menyukai ungkapan simpati karena itu menempatkan saya di satu sudut, sementara orang-orang berada di sudut lain dengan tatapan dan gestur yang tampak mengasihani saya.


Namun hari ini, saat seorang kawan mengirimkan sebuah pesan kematian, saya tiba-tiba menjadi orang-orang itu; yang dahulu menyampaikan belasungkawa pada saya. Saya katakan padanya bahwa kematian memang menyakitkan bagi yang ditinggalkan. Saya mengatakan bahwa tidak masalah untuk menangis dan merasa sedih. Saya mengatakan bahwa ia yang pergi telah menemukan tempat yang terbaik, oleh karenanya ia baik-baik saja. Saya juga menawarkan pelukan virtual karena kami berbeda lokasi. Dan saya memintanya untuk tabah.

Terdengar klise, pun bagi saya yang mengatakannya.

"Kamu sudah bersikap seharusnya kok." Kawan saya mengatakan itu saat saya meminta maaf karena tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik dengan mengatakan hal-hal common semacam itu.

Adalah benar untuk menangis ketika bersedih. Adalah benar bahwa kita butuh seseorang saat kita merasa sangat bersedih karena telah kehilangan seseorang lainnya. Adalah benar kalau kita butuh seseorang untuk kita peluk saat kita mendapat hal-hal yang membuat kita terguncang. Adalah benar bahwa kita butuh seseorang yang tersenyum untuk menguatkan kita. Adalah benar untuk mengatakan "everything is gonna be alright...". Adalah hal yang benar untuk mengucapkan simpati. Mungkin terdengar mengasihani, tapi lebih dari itu, kita memastikan bahwa kita ada untuk teman kita, seseorang yang membutuhkan penguatan saat sedang diuji. Meski terdengar nonsense dan sangat klise, adalah benar bahwa kita membutuhkan ungkapan semacam itu agar kita tahu, kita tidak sendiri dan semuanya akan baik-baik saja.


Comments

rudirustiadi said…
ya, air mata memeng kejujuran terakhir yang dimiliki seseorang.

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi