Metamorfosis

Saya masih harus menempuh 50an KM perjalanan lagi hingga sampai di muka rumahnya yang sederhana.

Lagi-lagi saya bertindak tanpa banyak perhitungan dan hanya mengandalkan hati (semoga bukan nafsu semata, aamiin). Saya sedang menikmati lagi jalanan Pantura yang pagi itu lengang. Elf yang saya naiki juga tak memuat banyak penumpang dan Pak Supir dengan santai mengendarai elf, tak seperti kebanyakan elf Indramayu-Patrol lainnya yang  bertindak seperti raja di jalanan Pantura yang ramai. Saya jadi bisa menikmati keping-keping ingatan saya dua atau tiga tahun lalu di jalanan ini sambil sesekali menengok ke telepon selular.


Jemari saya mengetuk icon Line, hendak mengabarkan pada orang yang harus saya temui hari itu, kalau saya datang terlambat. Di laman 'home', saya menemukan update-an terbaru dari orang itu, mari kita sebut saja Mbak Cita. Beliau menulis seperti ini sehari sebelumnya;
Bakal bertemu seorang sahabat besok.. semoga tidak ada halangan ya..
Aih, saya terharu. Mungkin juga terselip gede rasa di hati. Tapi sungguh, dianggap sebagai sahabat oleh seseorang itu rasanya penghargaan yang tinggi sekali buat saya. Saya? Sahabat? Ah, bagaimana mungkin seorang sahabat baru menghubungi lagi sahabatnya setelah sekian lama tak menyapa? Saya malu sendiri.

Elf yang saya naiki berhenti tepat di Karangsinom, sebuah pertigaan yang seolah menjadi tempat transit bagi siapapun yang hendak menuju Kecamatan Kroya atau Gantar, Indramayu. Saya hendak ke sebuah desa di Kecamatan Kroya, jaraknya sekitar 24 KM dari Karangsinom. Sebetulnya bisa ditempuh dengan angkot, namun jarang sekali ada angkot di daerah ini. Kalaupun ada, waktu tempuhnya bisa sampai satu jam perjalanan. Jadi saya memilih untuk menyewa motor ojek. Agak mahal memang, sekitar Rp 25.000,- hingga Rp 30.000,- ongkosnya. Namun cukup efektif untuk memangkas waktu, juga yang tak kalah penting, saya bisa menikmati udara khas musim tanam di Indramayu.

Ketika sampai di muka rumah Mbak Cita, saya hampir tak mengenali seandainya tidak ada pot-pot tanaman yang berdiri di depan pagar. Dua atau tiga tahun lalu, tidak ada warung di sisi rumah tersebut. Saya menengok ke pintu rumah yang terbuka sambil mengucap salam. Ada emak di sana, ibu dari Mbak Cita. Saya masih mengenalinya dan ia menyuruh saya masuk. Baru saja sebelah kaki ini memasuki rumah dengan lantai semen, Mbak Cita mengagetkan saya dari belakang. Bukan hanya terkejut karena ia muncul tiba-tiba, tapi saya sangat terkejut dengan penampilannya siang itu. Rambut shaggy panjang dan kacamata membuatnya tampak manis di mata saya. Ia terlihat segar dan tetap energik dengan status HIVnya yang mencapai stadium III, meski harus saya akui kini kulitnya menggelap, jauh lebih gelap dibanding terakhir menemuinya dua atau tiga tahun lalu.

Jika manusia hidup harus melewati fase metamorfosis, maka Mbak Cita melalui fase metamorfosis itu dengan sempurna! Ia dulu hanyalah ulat kemudian dipaksa menjadi kepompong dengan segala kesakitan dan keterbatasan. Namun yang merupa di hadapan saya saat ini adalah kupu-kupu dengan hiasan sayap yang indah. Bukan hanya secara fisik, namun apa yang ia tuturkan membuat saya terdiam, speechless.

"Sekarang saya diminta bantu-bantu di Rumah Sakit. Dulu sempet di KDS, Kelompok Dampingan Sebaya, sekarang di pelayanan. Hampir setiap hari ke sana. Sering dilibatkan juga di pelatihan-pelatihan. Syukur bisa ketemu banyak orang."

"Setiap kali home visit, saya belajar. Saya jadi termotivasi, ternyata banyak orang yang kondisinya lebih buruk dari saya. Kadang kala teman-teman yang juga sakit cenderung menstigma diri mereka sendiri. Padahal tidak begitu. Kalau mereka mau, Rumah Sakit punya banyak program untuk mereka, menjahit dan lain-lain. Sekarang saya lebih mengeksplor diri sendiri dan tidak menstigma diri sendiri. Saya berusaha terbuka sama teman dan itu lebih nyaman. Saya berusaha bahagia, yang penting saya menjalani hari ini dan bisa membantu orang lain dan keluarga. Minimal bisa menjadi contoh, mungkin saya banyak buruknya tapi minimal teman-teman bisa mengambil contoh baiknya dari saya."
Yang bicara di hadapan saya adalah seseorang yang hanya menempuh pendidikan hingga kelas 5 sekolah dasar. Sempat dianggap sampah oleh masyarakat dan saat ini menjalani kehidupan sebagai ODHA, orang dengan HIV&AIDS. Bagi saya, penuturannya pada saya siang hari itu sama sekali tidak memperlihatkan rendahnya tingkat pendidikan, justru menunjukkan seorang pribadi yang kuat dan luas dalam pergaulan. Seseorang yang mau bangkit dari masa lalu.

Lalu kami sempat menikmati perjalanan bersama-sama. Menyusuri persawahan dan menikmati sajian santap siang di sebuah foodcourt setelah sebelumnya sholat bersama-sama di sebuah masjid. Saya memandanginya yang menunggu pesanan datang. Ia tampak lelah, tapi ketika saya tanyakan ia menolak dikatakan lelah. Ia lalu bertanya kemana saja saya sudah pergi berjalan. Ia juga bercerita tentang pendakiannya ke Gunung Slamet beberapa tahun lalu. Dan ia bercerita tentang keajaiban-keajaiban yang Tuhan berikan, dan bertanya lemah, apakah dosanya akan diampuni.

Benar kiranya, pelajaran itu terserak di penjuru bumi, di setiap hal yang bisa tertangkap oleh indera. Di setiap orang yang kita temui. Seperti yang saya alami hari ini. Perjalanan 50 KM yang saya lalui, dengan kondisi jalan yang tidak cukup layak akhirnya bermuara pada hikmah. Tuhan baik sekali mempertemukan saya kembali dengan Mbak Cita, sosok yang mau belajar dari kesalahan dan kenangan pahit. Sosok yang tidak sempurna namun bermetamorfosis dengan paripurna. Sosok yang membuat saya begitu malu dan mempertanyakan, bagaimana dengan diri ini? Sudahkah saya sampai pada bagian paling akhir dari sebuah proses berjuluk metamorfosis, ataukah saya masih menjadi ulat yang belum menangkap makna dan arti hidup?

Comments

Benar kiranya, pelajaran itu terserak di penjuru bumi, di setiap hal yang bisa tertangkap oleh indera. Di setiap orang yang kita temui.

suka sama deretan kalimat itu

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi