Jihad Iqro di BBC

Tadi malam, saya terlibat obrolan dengan salah satu sahabat yang termasuk laskar assabiqunal awwaluun-nya Bintang Book Corner (BBC) Indramayu. Awalnya obrolan ringan tentang kondisi di BBC akhir-akhir ini. Ya tentang suka-dukanya mengelola BBC yang baru seumur jagung pendiriannya dan baru tiga pekan beraktivitas untuk umum. Yang menarik dari obrolan kami adalah ketika (sebutlah) Mba Yen berbagi hasil diskusinya dengan salah seorang guru di Indramayu. Hmm, kira-kira begini hasil diskusi mereka:

Anak-anak Indramayu nggak begitu greget sama baca buku. Mereka lebih suka seni, kayak nari. Terus orangtuanya ngedidik mereka untuk dapet uang sebanyak-banyaknya. Semakin kaya seseorang, semakin naik status sosialnya. Bukan orang alim yang dihargai masyarakat, tapi orang kaya. Jadi anak-anak harus mikir ulang untuk beli buku. Atau sekedar baca gratispun mereka ngerasa sayang karena buang waktu yang nggak menghasilkan uang.
Ah! Rasanya "jleb" banget dengan statement seperti itu. Diungkap oleh seorang guru pula! Hm, mungkin ini tidak bisa digeneralisasi. Tapi potret inilah yang ditangkap oleh guru yang notabene mengajar anak-anak Indramayu. Well, berharap ini hanya terjadi di kelas atau sekolah tempat guru tersebut mengajar dan tidak mewakili gambaran anak-anak di sekolah lainnya. Ya, meski anak-anak bahkan orangtua di desa tempat tinggal sayapun tidak menunjukkan minatnya terhadap buku. Hanya ada satu remaja yang kerap meminta izin pada saya untuk meminjam buku-buku di rumah. Selebihnya? Tidak ada.

Hingga saat ini saya masih belum berhasil menghimpun informasi terkait angka minat baca di Indramayu. Namun saya ingin menerawang ke masa 18 tahun lalu ketika saya masih sekolah dasar. Pintu rumah saya seringkali diketuk oleh ibu-ibu dari kawan-kawan masa SD yang kerap meminta majalah Bobo bekas. Bukan untuk dibaca, tapi untuk memenuhi tugas sekolah anak-anaknya. Dan seringkali, teman-teman main ke rumah saya kemudian melihat-lihat dan membaca majalah Bobo. Sebagian majalah yang dibawa pulang kadang tak pernah kembali ke rumah. Saya juga ingin menerawang ke waktu sekitar 10 tahun lalu. Adanya perpustakaan daerah yang tepat berdiri di depan SMA saya adalah angin segar bagi kawan-kawan saya yang kebanyakan datang dari daerah-daerah pelosok Indramayu. Artinya, harapan untuk bisa membangun Indramayu lewat buku masih terbuka lebar.

Hal yang sangat kontradiktif. Tapi ini justru jadi menarik. Untuk BBC sih saya anggap sebagai PR besar yang harus dikerjakan bersama-sama, secara komunal. Tantangan. Seorang penulis, Gol A Gong pernah menulis di salah satu bukunya bahwa membaca adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengubah cara pandang yang pada akhirnya bisa mengubah hidup seseorang. Dan, buku adalah salah satu fasilitas yang bisa diakses untuk memenuhi kebutuhan kita akan membaca. Lalu kemudian saya menemukan istilah jihad iqro, yang lagi-lagi disampaikan Pak Gol A Gong dalam salah satu akun lini-massanya. Mungkin inilah yang sedang dan akan dilakukan BBC ke depan, jihad iqro. Jihad dengan menyediakan fasilitas membaca, dengan pendekatan-pendekatan yang menarik bagi masyarakat. Ok noted. 

Hm, saya jadi punya bayangan akan melakukan apa ketika pulang nanti. Tentu, bersama BBC tercinta! (Kuswointan)




Comments

Hai Teh Intan :)

Gemar membaca memang harus dipupuk sedari kecil ya teh :)
Bobo itu fafvoritku banget waktu jaman SD lho....
Mungkin bisa ditawarkan buku bergambar semacam komik dulu kepada anak2 Indramayu sebagai pemancing teh :)

Semoga berhasil Jihad BBC nya yah teh Intan :)
rudirustiadi said…
Semangat aterus! semoga BBC-nya terus berkembang.

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi