Yang Menjadi Istimewa [Catatan Perjalanan Krakatau : 2]

Supir angkutan kota yang kunaiki bersama beberapa kawan peserta Krakatau Writing Camp sudah mematikan mesin, tandanya perjalanan darat kami sudah harus diakhiri. Tepat pukul 06.30 kami sampai di Dermaga Canti, sebuah "gerbang antara" yang nantinya akan mengantar kami menuju Pulau Sebesi, tempat kami akan menginap malam nanti. Sudah banyak angkutan kota yang terparkir di halaman dermaga sederhana itu. Beberapa di antaranya adalah angkutan kota yang disewa rombongan kami. Selain rombongan kami yang jumlahnya tak kurang dari 50 orang, ada beberapa rombongan wisatawan lainnya tengah menunggu kapal yang akan mengantar mereka berwisata, sebagian tengah menikmati kudapan pagi : nasi, mie instan, teh manis hangat atau sekedar minum kopi.

Aku meletakan tas di atas tanah, lalu memandang sekeliling. Ah, kalau boleh, aku ingin langsung berangkat saja, agar lebih cepat sampai Pulau Sebesi kemudian bereksplorasi. Namun Mba Nurul, salah satu panitia menyuruhku makan. Aku belum lapar meski makanan terakhir masuk ke lambungku pukul 22.30 di Pelabuhan Merak. Itupun dengan lauk lengkap : setengah porsi nasi, sekerat rendang, sepotong perkedel dan sejumput rebusan daun singkong. Saat ini hari sudah gempita. Matahari bahkan sudah naik beberapa derajat. Biasanya, pukul 06.30 orang sudah mulai merasakan ada yang menabuh-nabuh gendang di perutnya, tapi aku tidak. Selepas digoyang Selat Sunda beberapa jam lalu, kontan perutku tak bereaksi meski sekedar meminta makan. Mungkin aku terlalu excited. Beberapa kali, aku pernah seperti itu, terlalu terkesima hingga lupa kewajiban mengisi energi.

Namun akhirnya aku ikut ke dalam antrian yang mengular di sebuah warung bilik nan tak bersolek. Gila! Untuk dapat menikmati sarapan pagi di warung saja harus mengantri sepanjang itu! Ingin rasanya keluar dari barisan, tapi kalau menimbang betapa pentingnya sarapan pagi hari ini, kupikir tak apa harus bersabar sedikit lebih lama. Dalam antrian, kuedarkan pandangan ke segala penjuru, beberapa warung memang berdiri gagah di Dermaga Canti, namun tak kulihat warung dengan etalase berisi lauk-pauk seperti ini. Warung-warung lainnya terlihat hanya menjual minuman, mie instan atau camilan ala kadarnya. Jadi, aku memang tak punya pilihan selain tetap mengantri.

Antrian makin pendek, kini aku sudah berada di depan tumpukan piring. Kuambil satu, kemudian menyendokkan sedikit nasi ke dalamnya. Pikirku tertahan di sana, Tuhan... maka nikmatMu yang mana lagikah yang bisa aku dustakan? Entah ada apa dengan perasaanku, hingga melihat sesendok nasi saja sudah merasa bahagia. Kuedarkan pandang ke seluruh jengkal etalase, si pelayan warung baru saja memasukkan telur dadar ke etalase, bergabung dengan tahu, tempe, dan sayur. Asapnya masih mengepul. Lambungku yang semula adem ayem tiba-tiba teriak kegirangan. Rupanya, ia ingin segera melahap sepotong telur dadar itu. Maka kuambil sepotong, kemudian menuangkan kuah sayur ke piring,  agar makanan lebih cepat dicerna. Itu saja sarapan pagiku : nasi-telur dadar-kuah sayur.

Beberapa kursi dan meja yang disediakan di warung tersebut penuh terisi, yang kosong hanya satu-dua, terletak di pojokan belakang warung. Hup! Aku menghempaskan diri duduk di amben, menyangga piring makan, kemudian menyendokkan nasi dan potongan dadar ke dalam mulutku. Selang beberapa kunyah, aku terus menyendokkan nasi ke mulut. Ternyata meski berdalih perut sudah penuh terisi, aku tetap menyendokkan jatah makanku hingga tuntas. Lambungku bohong kalau ia bilang tidak lapar. Aih... amboi... 

Menikmati sarapan di Dermaga Canti, bagiku seperti menyulap kesederhanaan menjadi sesuatu yang istimewa. Mengapa menjadi istimewa? Karena di sana, kulihat warung bilik sederhana itu saja yang mungkin diakses para pelancong untuk mengganjal perut sebelum diombang-ambing ombak menuju Pulau Sebesi. Sederhana karena tak ada yang terlihat mencolok dari warung itu : tatanan yang ala kadarnya, piring dan sendok yang pakai-cuci-pakai lagi, kursi-kursi kayu yang mulai rapuh, serta meja-meja yang berjajar, air putih yang bisa didapat secara cuma-cuma, bahkan untuk sekedar isi ulang botol air minum. Warung itu menjadi istimewa bagi saya karena menyediakan cadangan energi sebelum mengarungi lautan luas.


Bukankah hal yang seperti ini juga istimewa dan patut untuk mendapat hadiah kesyukuran?


mata mulai mengantuk, ternyata sudah lepas tengah malam...
dokumentasi tak ada.



Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi