Menyimak Malam di Selat Sunda [Catatan Perjalanan Krakatau : 1]

Ketika menulis ini, saya sedang duduk di Waroeng Steak, tempat yang akhir-akhir ini saya gandrungi sebagai tempat pelepas lelah setelah bekerja, juga menikmati buku-buku yang belum tuntas dibaca.

Seminggu sudah berlalu semenjak saya menantang nyali saya sendiri. Ah, saya ingat, sehari sebelum berangkat ke Merak, sayapun menikmati tenderloin steak di sini. Ya, seolah mencari keberanian, saya habiskan waktu terakhir yang saya punya sebelum melangkah ke Merak d tempat ini. Kini, setelah seminggu berlalu, saya ingin menyapanya, dan membagi cerita kalau dapat.

Apa yang sebenarnya saya cari?

Jumat, 23 Agustus 2013. Sedari pagi saya sudah excited dengan rencana ini. Akhirnya, beberapa jam lagi saya akan menghirup lagi udara Banten, lebih dari itu, saya akan menginjak tanah Sumatera, hal yang sempat menjadi bagian impian saya awal tahun ini. Beruntung saya memiliki kawan sekantor yang pengertian. Teh Nun, Teh Fika, juga Teh Ani merelakan saya menjemput impian di Krakatau, sementara mereka memulai perjalanan ke Nganjuk, menghadiri syukuran pernikahan salah satu rekan kerja kami dulu. Di tempat lain, sudah jauh-jauh hari saya meminta izin dari MQ untuk melakukan perjalanan ini. Dan, seolah-olah menjadi salam perpisahan bagi saya dan sahabat-sahabat di sana. Saya pergi tanpa beban, bebas dan lepas.

Tak banyak perlengkapan yang saya bawa. Semenjak beberapa kali melakukan perjalanan, saya jadi lebih perhitungan dengan barang yang perlu dibawa. Kalau memang tidak diperlukan, tak perlu dibawa. Kalau bisa didapat di tempat tujuan, maka lebih baik beli di tempat tujuan, dibanding menambah beban di kedua bahu. Hasilnya, cukuplah membawa daypack sedang untuk beberapa hari. 

Pukul 14.10, saya menuju Terminal Leuwipanjang dengan menggunakan angkot Cisitu-Tegalega. Sebenarnya saya bisa menggunakan Damri, namun karena mengejar waktu, saya pilih naik angkot ketimbang harus terjebak macet di Pasar Baru sana. Pilihan saya tepat, ketika sampai terminal pukul 15.10, bis menuju Pelabuhan Merak, Banten sudah menyalakan mesin, tanda bersiap berangkat. Namun saya masih harus menunggu teman seperjalanan saya, yang katanya masih terjebak macet di daerah Kopo Sayati. Setelah beberapa kali bertukar pesan, teman saya itu bilang tak apa kalau saya harus pergi duluan. Maka saya langsung melompat ke dalam bis, yang beberapa menit kemudian bergerak meninggalkan Leuwipanjang.

Perjalanan yang panjang. Setelah tujuh jam berada di dalam bis, akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Pelabuhan Merak. Hari memang sudah beranjak menuju tengah malam, namun suasana pelabuhan cukup semarak. Beberapa laki-laki mengerumuni bis yang baru saja berhenti. Mereka menawarkan jasa ojek menuju pelabuhan, saya waspada. Tak jauh dari saya, berdiri seorang perempuan yang saya terka usianya tak jauh berbeda dari saya. 
"Mba, pelabuhan ke arah mana ya?" begitu saya memulai berbincang dengannya, yang ternyata iapun tidak tahu.
"Iya nih, saya baru pertama kali ke pelabuhan..." saya langsung saja meneruskan pembicaraan.
"Mba-nya mau ke mana?" lagi-lagi saya bertanya, ia agak sulit menjawab.
"Saya ikut acara..."
"Oo... ikut Krakatau Writing Camp ya?" skak! saya to the point sekali. Tak saya sangka, memang benar adanya. Mba Dia, perempuan yang saya sapa ini adalah teman saya di camp nanti. Bagus! Akhirnya, setelah bertanya ke petugas, kami berdua melangkah ke pelabuhan sambil berbagi cerita.

Di pelabuhan, tak ada tanda-tanda panitia. Meeting point di Dunkin Donuts pun sepi. Namun ketika bergerak menyusuri deretan kios-kios itu, tepat di depan Terminal Penumpang, ada segerombol orang di sana. Saya mengenali tiga orang di antara mereka : Mba Nurul Noe, dari Backpacker Koprol yang juga panitia Travel Writing tempo hari, Bang Jack Alawi, relawan Rumah Dunia dan ya! Yang tengah duduk mengampar sambil makan popmie itu tak lain dan tak bukan adalah Bang Gol A Gong, si pengisi Krakatau Writing Camp esok hari. Kami berdua langsung bergabung di antara mereka dan berkenalan dengan beberapa di antaranya, sembari menunggu kapal ferry yang akan kami naiki merapat di dermaga.

Hampir tengah malam, panitia memanggil kami agar bergegas masuk ke dalam lambung kapal. Saya menarik daypack dan menggantungnya di punggung, kemudian berjalan agak tergesa. O Tuhan... saya beberapa kali pernah melalui laut, namun selalu menggunakan perahu dan tak pernah jauh jadi saya agak cemas juga. Memasuki lambung kapal, pengap. Ruangan dalam lambung kapal ternyata berisi deretan kursi panjang, terbagi beberapa kolom dan baris. Awalnya, saya akan duduk di deretan kursi itu, namun ketika menyadari betapa pengap dan banyak asap rokok, saya mengikuti teman-teman yang lain yang bergerak menuju geladak. Udara pastinya lebih bersih di sana. Selain itu, mungkin suasananya akan romantis mengingat sisa-sisa purnama masih menggantung di langit.

Saya duduk di pinggiran geladak paling atas, bersandar di pagar yang membatasi kapal dengan laut lepas. Tak disangka, tak jauh dari tempat saya duduk, adalah Gol A Gong bersama dua anaknya, Bella dan Abi, mengambil tempat beberapa meter dari saya yang sudah menyelonjorkan kaki di geladak. 

Suasana yang awalnya saya harapkan syahdu dan bisa memanggili Nismara (salah satu tokoh yang sedang saya buat ceritanya) sambil memandang Selat Sunda, harus saya relakan karena dini hari itu, ketika orang-orang mulai terlelap, saya dan teman-teman peserta juga Gol A Gong yang ada di geladak, justru terlibat dalam obrolan yang akrab, seolah kami sudah lama mengenal. Dimulai dengan bermain tebak-tebakan, dilanjut dengan saling lempar cerita lucu, sampai akhirnya memulai diskusi kepenulisan. Inilah malam indah itu ternyata! Meski pelatihan belum dimulai, Bang Gong nyatanya tak pelit untuk membagi ilmu. Kami jadi bersemangat bertanya ini-itu. Saya sendiri bertanya apakah penulis travel novel harus melakukan perjalanan, sementara Bang Jurjani bertanya dalam bentuk seperti apa kisah hidupnya selama di Turki dapat ditulis.

Malam kian beranjak ke tepi, namun kapal belum menepi. Empat jam kami habiskan di atas Selat Sunda. Obrolan panjang sudah mulai ke pangkal akhirnya. Bang Gong menyuruh kami melihat ke laut lepas. Di sana sedang berlayar beberapa kapal, titik-titik lampunya indah tiada tara.
"Bisakah kalian mendeskripsikan titik-titik cahaya itu ke dalam tulisan?" begitu ia menantang. Kami spontan memandang ke arah yang sama dengan arah pandang Bang Gong. Saya tak menemukan ide, namun Bang Rosyad yang puitis, langsung mengeja untai-untai kalimat yang ia buat.

Apa yang sebenarnya kamu cari dari perjalanan melintas selat ini, Intan?

Saya terdiam di sisi pagar geladak, masih memandang Selat Sunda yang masih sekelam malam. Pukul 04.15 dini hari. Sayup-sayup adzan terdengar di kejauhan. Ah, Allah... malam ini cepat sekali berlalu!
Awak kapal mendekati kami, menyadarkan kami bahwa kapal sudah merapat sejak beberapa waktu lalu, dan tengah bersiap kembali ke Pelabuhan Merak Banten. Kami terkejut dan kemudian tertawa ketika melintasi lambung kapal yang telah kosong melompong. Ya, kami terlalu menikmati malam di Selat Sunda! Dan ya, kami tiba d Bakauheni, di tanah Sumatera.

30 Agustus 2013

ditulis dalam memo ponsel, diuraikan lagi dengan laptop pinjaman :D

Comments

Pertama kenal mbak Intan itu di dermaga :)

Allah baiknya bisa saya bisa berkenalan dengan mbak :)

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi