RUANG TEMU



Ya, ruang temu, bukan ruang tamu. Kadang kita memang tak perlu bertemu untuk bisa berdialog dengan seseorang, atau sekedar untuk melihat dan meyakinkan diri kita kalau seseorang itu baik-baik saja. Terkadang kita hanya butuh satu ruang di hati untuk bisa merasakan seseorang yang kita rindu. Seperti itu saja sepertinya obat dari kerinduan. Ya, seperti itu saja.

Maghrib baru saja lewat. Tak seperti biasanya ketika aku ada di rumah, aku memutuskan untuk keluar menuju warung Mak Yati yang letaknya tak begitu jauh dari rumah dan berbincang degannya, alih-alih hanya mengambil titipan termos es hari itu. Kaku. Meskipun sudah hampir dua tahun tinggal bertetangga dengannya, aku tak kunjung pandai mengobrol dengan Mak Yati, pun dengan tetangga yang lain. Terlebih lagi, aku yang terbiasa berbahasa Indonesia dan sedikit terkontaminasi bahasa Sunda, agak kesulitan untuk menanggapi Mak Yati yang berbincang dalam bahasa Dermayu yang kental. Sampai datanglah Bapak Caram, suami Mak Yati yang menanyakan bagaimana kuliahku, kapan aku akan diwisuda dan lain-lain. Dari sanalah obrolan mulai hidup sementara sayup-sayup terdengar suara Haris dari dalam rumah, putra mereka sibuk mengajari Dimas dan Noval mengaji.

Aku melirik dagangan Mak Yati. Warngnya memang kecil dan tak selengkap warung lain yang ada di sekitar blok rumah kami, tapi banyak tetangga yang masih menjadikan warung Mak Yati sebagai primadona. Aku mengambil sebungkus teh jahe. Sembari membayar, kutanya Mak Yati,
            “Mak, besok mau ke pasar jam berapa?”
            “Ya kaya biasane bae, De…” Mak Yati biasa memanggilku dengan sebutan De, sama seperti ia memanggil adikku atau kakakku.
            “Ana apa sih?” tanyanya. Aku menceritakan kalau aku akan naik travel jam dua pagi nanti agar bisa bekerja besok pagi, dan ya… aku minta tolong diantarkan Mak Yati, setidaknya sampai ke depan jalan raya. Terbayanglah kalau jam dua harus ke jalan seorang diri, kebetulan hari itu di rumah hanya ada aku dan Sekar, adikku. Mak Yati mengiyakan. Bapak Caram juga mengiyakan. Katanya kalau Mak Yati sudah berangkat ke pasar duluan, Bapak Caram yang akan mengantarku sampai ke jalan raya.
            “Nok, lamun Senok butuh apa-apa kuh ya wara… Senok wis dianggep anak dewek. Aja sungkan…” Begitu Bapak Caram kemudian berkata padaku.
            “Bapak Caram karo almarhum bapak kuh wis kaya sedulur, malah lewih sing sedulur kandung. Jadi aja sungkan ya…” Lantas Bapak Caram bercerita tentang bapakku. Menceritakan persahabatan mereka yang dimulai sejak mereka masih bujangan. Menceritakan bapak yang sering bertandang ke rumah Bapak Caram dan bercerita ini-itu. Ketika masing-masing telah memiliki keluarga, Bapak masih suka main ke rumah Bapak Caram, menggendong anak laki-laki Bapak Caram. Bapakpun sering meminta saran kepadanya, atau meminta Bapak Caram menjagai rumah kami ketika kami pulang ke Jakarta. Mak Yati terlihat senyum-senyum saat itu.
            “Semono Bapa Caram wong bli duwe, Bapae Senok kuh ora nganggep mengkonon. Ya artine kuh, minum ya minum bareng. Mangan ya mengkonon. Anu kah, ora jijik kah Nok ning wong bli duwe kuh…” Bapak Caram melanjutkan. Ya, kondisi Bapak Caram memang jauh berbeda dengan tetangga-tetangga sekitarnya. Rumahnya masih berlantai tanah, ventilasi yang kurang memadai dan listrik saja baru dipasang beberapa bulan lalu.
            “Bapae Senok kuh wis nitipaken Senok ning kene… Jadi aja anggep wong sejen ya…” Begitu Bapak Caram mengakhiri obrolan kami malam itu. Ya, itulah ruang temuku dengan Bapak. Ruang temu yang tercipta dari obrolan tentang masa lalu, ruang temu yang sedikit mengobati sebuah rasa rindu.

~selepas pulang menemani adikku yang tengah seorang diri.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi