PERAHU KERTAS?


Perahu Kertas sedang in lagi. Jadi topik yang segar bahkan sejak isu akan diangkatnya novel tersebut ke layar lebar. Dan tadaaaa… Mulai 16 Agustus 2012, Perahu Kertas resmi nongol  di bioskop-bioskop demi mengobati kerinduan para Agen Neptunus se-Indonesia. Apakah saya termasuk Agen Neptunus-nya si Kugy- gadis out of the box yang cinta setengah mati sama dunia dongeng? Hm… Nampaknya nggak.

Sekira tahun 2011, saya bertemu Perahu Kertas, kenalan lewat sinopsis yang mangkal di balik bukunya. Dideskripsikan adalah Kugy si tukang dongeng dan Keenan yang punya hasrat pada lukisan. Yah, kisah-kisah romantisme ala anak muda gitu lah. Maka tak jadilah saya beli bukunya. Tapi, berkali-kali ke toko buku selalu ketemu dengan novel karya Dee Lestari itu. Jadi ketika ada diskon besar-besaran, saya menyambar buku itu dan membayarnya di kasir. Novel yang akhirnya menjadi teman saya di sela-sela perjalanan tugas pemantauan tahun lalu.

Dari judulnya saja, sudah sanggup membawa diri saya mengenang masa-masa putih-biru. SMP. Seperti Kugy, saya suka membuat perahu-perahu kertas. Biasanya sebelum dilipat jadi perahu, sudah saya tulisi dulu. Macam-macam ceritanya, tapi ya tetap terkait pengalaman atau perasaan saya setiap hari. Karena sekolah saya terletak tepat di hadapan kali Cimanuk, jadi perahu-perahu itu saya layarkan di sana. Buat apa? It’s just a silly thing, right? Ah, tapi bagi saya itu menyenangkan! Saya bisa cerita banyak hal tanpa takut bagian rahasia saya diketahui oleh orang lain. Setidaknya saat itu, bagi saya, dengan melimpahkan segala perasaan dan pengalaman di selembar kertas yang dijadikan perahu kertas itu cukup menenangkan. Saya bebas berekspresi dan bercerita, bukan? Iya, tanpa takut ada orang yang tahu. Nah, ketika perahu itu melaju terus ke arah laut, serasa ada kepuasan tersendiri. *plak!

Tapi saya bukanlah Kugy yang mengirim kabar berita, cerita ke Neptunus walaupun zodiak kami sama. Saya hanya sekedar menjaga stabilitas nasional negeri hati saya (lho??). Di SMA, meski jarang, sesekali saya masih menulis, melipat, dan melayarkan perahu saya. Kadang sepeda saya sengaja saya lajukan menuju jembatan besar tempat kektika dulu SMP saya melayarkan perahu kertas saya. Dan, saya sering berhenti di sana. Memarkirkan sepeda, lalu plung perahu kertas saya jatuh dari ketinggian, mulai berlayar. Ah, betul-betul kenangan yang indah!

Kini, masih ada dua perahu kertas yang saya simpan. Sengaja disimpan saja. Ada yang sudah bulukan dan tulisannya meluntur lantaran dibuat sejak masih kelas tiga SMP. Satu lagi masih baru, kertasnya saja masih bersih sehingga tinta di sana masih terbaca jelas. Ke mana akan saya layarkan? Saya angkat bahu. Sudahlah, saya hanya akan menyimpannya saja, meninggalkan kebiasaan saya yang tergolong aneh dan punya kecenderungan merusak lingkungan ini (nyampah).

Hingga suatu kali, ketika telah sempat melupkan perahu-perahu saya dahulu, seseorang yang saya kenal sebagai tukang becak langganan kawan SMA saya bertanya,
“Intan masih main perahu-perahuan?”
Dan seorang supir yang kerap mengantar saya bertugas juga membawa ingatan saya,
“Biasanya buku Perahu Kertas yang dibawa, Tan. Mana?” Dan, saya cuma tersenyum. Iya, saya bukan Agen Neptunus-nya si Kugy. Saya juga bukan Kugy yang hobi membuat laporan (perahu kertas) ke Neptunus.


Karena kita punya radar.
29 Agustus 2012
gambar : arinaforlife.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi