Letter to Dad
It
has been a year, Dad.
Apa yang kutahu tentangmu? Aku
tersenyum, rasanya tak sebanyak yang kau tahu tentang aku, bukankah selalu
seperti itu?
Pak, kumulai surat ini dengan
tidak menanyakan kabarmu. Aku berharap, Allah menerima doa-doa kami untukmu.
Hanya itu yang bisa kami hadiahi padamu, Pak.
Takbir hari raya sudah
terdengar sore itu. Suara takbir hari raya akan selalu membawa ingatku padamu, Pak.
Biasanya engkau pulang lebih cepat dan dengan cerewet menyuruh kami berlima
cepat-cepat membayarkan zakat ke masjid, atau ke tetangga dekat rumah, atau ke
mushola. Dan biasanya itu menguras emosi. Kami biasanya berangkat ke masjid
dengan langkah gontai, atau mengetuk pintu tetangga dengan tak sabar, agar bisa
segera kembali ke rumah, menunggu adzan Maghrib dikumandangkan sembari
menyiapkan lontong buatan Mbah Mi yang telah matang, juga semur yang sudah
mengepul aromanya. Kalau ingat itu, aku ingin tersenyum. Rasanya, justru
hal-hal kecil macam itu yang kurindukan sekarang, setiap kali lebaran
akan menjelang.
Ini lebaran kedua kami tanpamu.
Maksudku, Idul Fitri kedua tanpamu di sisi kami semua. Pak, Yutia menikah
sesuai tanggal yang engkau tetapkan setahun lalu. Yutia dan A Ipang jadi
menikah, sebulan sebelum Ramadhan, dua bulan setelah kepergianmu. Jadi,
keluarga ini bertambah seorang lagi. Jadi, lebaran yang kami kira akan begitu
sepi tanpamu, langsung dihadiahi seseorang untuk melengkapi kami berenam. Iya,
kami berlebaran dengan A Ipang di antara kami tahun lalu.
Duka masih membekas kala itu.
Tempat ini masih begitu asing bagi kami, namun bukankah rasa asingpun akan
segera menguap seiring waktu? Maka, meskipun asing terasa, begitu menenteramkan
bagi kami. Dan untuk itu, terima kasih telah menitipkan kami di sini.
Pak, ini lebaran kedua tanpamu.
Tahun ini, kami melaluinya berempat. Mamah, Yulan, Dede, dan aku. Yutia dan Ik
menikmati hari pertama lebaran di rumah mertuanya. Rumah terasa semakin sepi.
Tapi bagiku tak masalah, justru aku bisa menikmati kenangan-kenangan bersamamu,
menikmati saat-saat aku menggandeng tanganmu selepas shalat Idul Fitri dan kita
berjalan beriringan. Atau saat-saat engkau tak lagi menyertai kami shalat Idul
Fitri, dan menunggu kepulangan kami dari masjid di teras rumah kita yang dulu. Ah, rasanya itu syahdu sekali.
Pak, aku hanya rindu padamu.
Rindu yang tak dapat kutahan lewat doa-doa. Mungkin dengan menulis ini, akan
membantuku mengurai rindu ini. Tak
apa-apa, kan?
Lantas tiba-tiba, adikmu datang
berkunjung. Bersama tiga orang anaknya. Engkau tentu masih ingat Indra, Ela,
dan Ferry kan? Mereka telah tumbuh dewasa. Tahun depan, Indra akan lulus dari
SMK. Mereka sudah tak lagi berlarian ke sana-kemari ketika datang seperti dulu.
Bahkan acap kali mereka hanya tersenyum malu-malu. Entah sudah berapa lama aku
tak melihat mereka.
Dan, keesokan harinya,
tiba-tiba rumah menjadi riuh rendah. Yutia, Ik, dan suami mereka, A Ipang dan A
Nazar datang. Sungguh, aku menjalani hari raya dengan suka cita. Aku tak bisa
menahan rindu untuk bertemu mereka sampai-sampai terus menggerutu kapan mereka
berempat bisa datang ke rumah. Pak, sepekan sebelum hari raya, tengah malam
sekali ketika aku baru saja terbangun, aku mendapati sebuah pesan di ponsel ku.
Itu pesan dari Ik, Pak. Ia bilang, ia rindu padamu. Ia bilang, tak tahu harus
bagaimana menanggung rindu padamu. Adakah yang salah dengan kerinduan, Pak?
Kukira, tak ada. Maka bagiku, tak masalah kalau Ik ingin membayar kerinduan
terhadapmu. Maka hari itu aku bahagia, bisa bertemu dengan Ik, dan membaca
rindu itu bersama-sama. Bukan, bukan hanya kami berdua yang merasakannya, jadi
kami menanggung rindu bersama-sama.
Pak, kadang aku berpikir bahwa
engkau masih ada dan hanya sedang menempuh perjalanan jauh untuk suatu urusan.
Dengan begitu, kupikir aku tak akan terlalu merasa kehilanganmu. Terdengar
aneh, ya? tapi ternyata Mamahpun berpikir hal yang sama. Pelan-pelan, kami
semakin mencintaimu.
Pak, terlalu banyakkah aku
bicara?
Pak, engkau satu-satunya lelaki
di keluarga ini, dan tiba-tiba saja Allah memintamu kembali. Hanya kami berenam
yang tersisa, enam orang perempuan. Namun itu tak menjadi masalah, bukan?
Karena ternyata Allah justru mengirim dua orang lelaki kini, untuk membantu
kami meraih ridha Allah. Pak, aku hanya terlalu merindukanmu. Kami hanya
terlalu merindukanmu. Selalu.
Dad,
it has been a year and I still have nothing to make you proud. It has been a
year and all I can say is thank you, for all the kindness and love. I love you,
as always.
Ini kusertakan beberapa foto kami
The six of us |
Your daughters... |
Comments