FINDING HAPPINESS



Kebahagiaan? Kata ini barangkali sudah akrab di telinga. Buat saya sendiri, rasanya sudah seringkali merasakannya. Kebahagiaan itu seperti memiliki sayap. Kita bisa terbang ke mana kita suka dan menghirup udara yang melegakan. Setidaknya, bagi saya, kalau boleh dibilang lebay, ya begitulah bahagia di mata saya.

Rupa-rupanya, kata ini jugalah yang mengusik hari-hari saya belakangan ini. Dimulai ketika beberapa bulan lalu saya pulang ke Indramayu. Lazimnya seorang anak yang lama tak pulang, saya dan Mamah terlibat obrolan panjang sore hari, seperti biasa, Mamah duduk di kursi rotannya dan saya duduk di lantai, bersender di kaki Mamah sementara Mamah sesekali mengelus kepala saya. Kami bicara kemungkinan-kemungkinan masa depan.  Saya ikut saja ke mana arah obrolan sore kami kali ini. Pada awalnya renyah sekali kami berbincang, sampai akhirnya nada emosional itu keluar juga dari suara Mamah.

“Mamah pingin liat Intan bahagia… Intan carilah kebahagiaan Intan sendiri, Mamah nggak bisa kasih apa-apa ke Intan. Mamah pingin Intan bahagia…” suara Mamah mulai berat. Saya tentu saja kaget juga mendengarnya.
“Kok gitu, Mah? Emang selama ini Intan nggak bahagia, gitu?” tanya saya, masih ngasal.
“Mamah liat Intan nanggung apa-apa sendiri. Udah saatnya Intan bahagia, Tan…” tanpa terasa, pelupuk mata saya mulai berat. Kami jadi sama-sama menangis. Entah karena apa. 

Bahagia? Sebegitu kurangkah saya mendapat kebahagiaan dari keluarga ini? Bahkan seringkali saya merasa beruntung jadi bagian keluarga ini. Lantas di sisi hidup saya yang manakah saya tidak bahagia? Saya bertanya-tanya sendiri. Pada akhirnya, pernyataan Mamah sore itu menggelayuti pikiran saya pada hari-hari selanjutnya.

Lalu pikiran membawa saya ke masa berbulan-bulan lalu, saat saya baru mengetahui kalau saya terkena TBC. TBC memang penyakit biasa yang dialami banyak orang di Indonesia bahkan di dunia. Jadi harusnya saya tak membesar-besarkannya seperti ini. Namun tentu saja, di masa-masa awal, saya sempat juga shock dan tak tahu harus bagaimana.

Hari itu, saya memutuskan pulang ke Indramayu. Karena naik kendaraan sore, maka baru malam hari saya tiba di rumah. Letih. Begitu sampai di rumah, saya langsung menghempaskan tubuh ke karpet di ruang tengah, sambil mendengus,
“Intan tuh capek, Mah…” Saya kira Mamah cukup kaget mendengar saya berkata seperti itu, tak biasa-biasanya.
“Intan kenapa?”
“Intan sedih Mah. Ngerasa sendiri…” Air mata saya mulai keluar saat itu. Mamah mendekat dan memeluk saya, semakin menjadilah saya menangis. Sayapun mulai menceritakan beban hati saya. Saya memang merasa sendiri kala itu. Masa-masa awal saya menyadari ada hal yang janggal dalam tubuh saya. Masa-masa harus menjalani check up, tes ini-itu, sampai biopsy,  yang memaksa saya mencari pinjaman uang ke sana-kemari karena tabungan saya sudah terpakai untuk SPP dan biaya tes lainnya. Sementara itu, sudah lama sekali tak ada seorang keluargapun yang menanyakan kondisi saya atau sekedar menyapa.

Mungkin, Mamah masih mengingat dengan jelas keluhan saya saat itu sampai pernah memaksa saya untuk kembali ke rumah saja selama pengobatan agar saya merasa tak sendirian. Mungkin itu pula yang membuat Mamah akhirnya mengatakan, saya harus mencari kebahagiaan saya. Setidaknya begitulah kesimpulan saya sementara.

Ya Tuhan, kalau memang benar seperti itu, seharusnya dahulu saya tak menyampaikan satupun keluhan di hadapan Mamah, agar ia tahu betapa saya telah bahagia.

Saya mencoba berdamai dengan kondisi saya saat itu. Orang bilang, saya tampak lebih segar dari biasanya dan lebih gemuk. Orang berpikir saya sehat dan bahagia. Ya, saya bahagia dan mencoba menikmati semua yang saya miliki. Saya makan lebih banyak buah. Saya lebih banyak minum. Saya membebaskan pikiran saya. Saya bepergian, bercerita, membaca novel, memotret, melakukan banyak hal dan berserah. Ini membahagiakan bagi saya, sampai kata-kata Mamah hari itu kembali menenggelamkan saya pada pertanyaan mengenai kebahagiaan.

Kebahagiaan macam apalagi-kah yang perlu saya dapatkan?

Saya angkat bahu. Lulus kuliah? Hal tersebut memang membahagiakan. Mungkin Mamah memang ingin saya cepat lulus. Tapi saya rasa, Mamah cukup tahu kapan saya akan lulus dan tak membahas hal tersebut di hadapan saya. Mendapat pekerjaan? Sudah lama Mamah tak membahas ini. Beliau bilang kalau beliau selalu berdoa agar kami putri-putrinya mendapat pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat kami. Dan Mamah tak pernah mempersoalkan pekerjaan saya saat ini.

Lalu kebahagiaan macam apa?

Untukmu, Mamah. Saya selalu bersyukur, mendapatkan kebahagiaan darimu. Melihat senyummu saja cukup membuat gundah terberai. Maka apalagi kebahagiaan yang ingin engkau lihat ada pada saya? Jawablah, maka akan saya cari kebahagiaan itu dan kuhadiahkan untukmu.


malam hari, mengingati lagi kebahagiaan yang Mamah pintakan.


Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi