Takdir

Seperti apakah rupanya? Cantik-mempesona atau justru membosankan dan buruk rupa?

Takdir, sepotong kata itu tiba-tiba saja hadir pagi ini di sela-sela kesibukan saya belanja sayur di pasar. Dulu, ketika semester pertama menjadi mahasiswa, saya sempat dengan seenaknya menerjemahkan takdir yang pada akhirnya menjadi tugas akhir dalam mata kuliah Filsafat Umum. Seenaknya saja saya mengartikan, mempreteli kata yang sungguh ternyata begitu berat untuk dibahas oleh mahasiswa tingkat pertama berumur belasan tahun dan baru merasakan hidup jauh dari orang tua.


Tidak. Kata takdir tidak begitu saja muncul pagi ini. Saya jadi ingat obrolan bersama seorang kawan pada malam harinya. Saya yang sedang asyik berdiskusi dengan seorang rekan di kantor harus terkejut dengan pesan singkat yang dikirim oleh kawan saya itu. Kalau tak salah ia bilang, kadang dalam hidup kita harus memilih. Saya yang bingung kemudian membalas pesannya itu. Kawan saya membalas beberapa saat kemudian, hidup saya ga seindah temen-temen yang lain. Nah lho, apapula ini? Yang saya tahu, kawan saya ini bukan orang yang suka membanding-bandingkan hidupnya dengan hidup orang lain, karena dia selalu bilang, syukuri aja! Kenapa tiba-tiba dia berkata seperti itu?

###

Kebanyakan orang, setelah lulus kuliah langsung cari kerjaan.

Kebanyakan memang seperti itu.  Hampir selalu seperti itu, saya mengamini.

Saya juga kadang ngerasa iri sama temen-temen yang dapat penghasilan lebih dari cukup, mandiri, dan sudah berkeluarga. 

Bagian ini, saya juga mengamini. Kadang saya juga berpikir seperti itu.

Tapi saya milih jalan yang ga biasa.

Jalan yang tidak biasa? Saya mulai bertanya, jalan yang seperti apa?

Saya bisa aja kerja di salah satu perusahaan asing terkemuka dengan insentif sepuluh juta, tapi saya ga mau ngeruk kekayaan bangsa sendiri.

Bagus, ia punya prinsip.

Sekarang, saya mulai ngerintis usaha.

OK, bagus. Kuliah sambil membuka peluang usaha untuk bisa mandiri.   Lalu apa intinya? Saya kembali dijebak rasa bingung.

Bagi saya hidup ga melulu soal uang, ya walaupun saya butuh uang. Ada hal lain yang perlu diperjuangkan.

Bagian ini juga saya amini. Saya pun sama. Di akhir tingkat pertama kuliah, saya bergabung di LSM yang bergerak di wilayah remaja, wilayah HIV/AIDS. Saya diganjar dengan cibiran beberapa orang kawan, kamu ga takut ketularan? Pertanyaan aneh, menurut saya tidak begitu logis saat itu. Ngapain sih Tan, ikut-ikut LSM? Ga akan dapet uang, mending ngeprivat anak sekolahan. Bagian ini lebih lucu lagi buat saya.

###

Bagi saya, hidup adalah pilihan. Betul, pilihan. Bukankah Allah sedemikian baiknya pada kita hingga Dia merentangkan beberapa pilihan ke hadapan, memberi maklumat bahwa kita adalah khalifah dan seorang khalifah harus bisa memilih arah mana yang akan ia ambil. Saya percaya itu



Comments

Popular posts from this blog

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Trip to Have Fun with Kids

Indramayu dan Potensi Kebaikan