Finding the "Me"
... dan dari sebuah perjalananlah, saya mengenal apa fungsi sebuah tanda koma.
Pikiran mumat, saya akui dan itu benar-benar membuat saya tidak nyaman. Kemampuan untuk dapat switching fokus merupakan kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Saya belum memiliki kemampuan super hebat itu. Jadilah saya berantakan, seperti segulungan benang yang terberai ke mana-mana lantaran dimainkan oleh anak kucing. Mungkin hampir dua bulan ini saya menjadi seperti itu.
Bekasi menjadi kabupaten ke tujuh yang saya sambangi beberapa bulan terakhir. Kegiatan sosialisasi dan pemantauan yang nempel pada divisi tempat saya bekerja, mengharuskan saya untuk dapat mengatur kegiatan tersebut agar berjalan sesuai target yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, pagi-pagi sekali, saya sudah duduk manis di dekat pintu tol Pasteur, menunggu mobil yang akan mengantarkan saya ke Bekasi. Syukur, hanya beberapa jam saja saya ada di Bekasi, menjelang sore saya sudah duduk manis di kantor lagi. Namun rupanya, saya belum bisa beristirahat. Agenda pemantauan ke Kabupaten Garut justru semakin membayang : besok, pagi-pagi sekali saya akan ke Garut, dua hari.
Mungkin setumpukan agenda itulah yang mengantarkan saya pada gerbang kebosanan. Saya bosan dengan aktivitas yang ada, atau mungkin saya lelah. Ide untuk kabur dari rutinitas pun muncul, apalagi setelah membaca buku mengenai traveling yang baru-baru ini saya baca. Ide itu makin menggila. Saya memerlukan sebuah rehat.
###
Malam itu, saya sudah duduk nyaman di kursi paling depan bis MGI, menikmati cemilan sembari mendengarkan playlist. Gila! Saya baru saja sampai Bandung selepas ashar tadi setelah dua hari berada di Garut. Sebelum menuju terminal, seorang kawan bertanya dengan nada simpati, " Kamu nggak cape, Tan? Baru aja sampe Bandung langsung pergi ke Depok?" Saya cuma nyengir saja. Belum, untuk sebuah perjalanan, saya belum lelah. Maka saya menikmati perjalanan menuju Depok, bertemu kakak saya untuk kemudian keesokan harinya menuju Bogor.
Beberapa pesan singkat masuk ke ponsel saya, dan saya langsung terhanyut membalasnya satu-persatu. Menyenangkan bukan, menikmati perjalanan sembari mendengarkan cerita-cerita langsung dari aktor utamannya? Ada yang berkisah tentang cinta, ada yang sekedar menyapa, beberapa membagi cerita mengenai aktivitasnya di hari itu. Ah, hidup! Seperti inikah rupanya?
Semakin malam, semakin sedikit yang masih berminat mengobrol. Bis sudah memasuki Lenteng Agung, rumah-rumah penduduk kini menggantikan pemandangan jalan tol yang homogen beberapa jam lalu. Orang-orang masih berlalu-lalang. Warung-warung makan disinggahi mereka yang baru pulang bekerja. Mobil dan motor saling berpacu, jalanan diriuhi klakson angkutan kota yang kejar setoran. Kereta commuter yang baru diluncurkan PT KAI melintas mengantar berbagai profesi pulang. Sementara saya masih duduk di dalam bis, merasa seperti berada dalam sebuah akuarium besar yang berjalan. Aih, sungguh menyenangkan menikmati semua sajian gratis ini!
###
Kakak saya sudah hampir terlelap tidurnya ketika saya datang. Begitu mempersilakan saya masuk kamarnya, ia langsung menarik selimut dan bersiap bermimpi. Keesokan harinya, ia bangun dan mengajak saya ber-jogging ria di UI, saya menolak dan memilih untuk melanjutkan istirahat. Nanti, setelah kakak saya kembali dari jogging, ia akan mengajak saya ke Bogor, bertemu dengan Ibam, temannya kala masih menjadi mahasiswa.
Wah, saya tidak menolak. Dalam perjalanan saya beberapa bulan lalu ke Bogor, saya sudah meniatkan diri untuk berkeliling Kebun Raya Bogor. Namun lantaran waktu yang saya miliki tak banyak, terlebih dikejar laporan ini-itu, pada akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Bandung secepat mungkin. Maka, ketika ada tawaran untuk melancong ke Bogor, saya buncah, senang bukan main. The next trip : Bogor Botanical Garden! Saya harap perjalanan nanti bisa mengendurkan saraf-saraf saya yang mungkin sedang kebingungan sampai-sampai lebih tegang dibanding biasanya.
###
Saya dan kakak saya sudah berdiri manis di atas gerbong khusus wanita pada commuter menuju Bogor. Di sini, penumpang laki-laki dewasa tak akan diizinkan masuk. Tampak sepasang suami-istri harus berpisah di gerbong yang berbeda. Gerbong ini tak terlalu padat. Beberapa anak kecil berlarian di dalam gerbong, tertawa sementara yang lainnya bermain di atas tempat duduk. Saya memilih berdiri di sisi pintu agar bisa melepaskan pandangan ke luar, menikmati daerah-daerah yang bersisian dengan rel kereta, sepanjang Depok-Bogor.
Saya selalu menikmati perjalanan dengan menggunakan kereta. Saya menyukai bunyi deru mesin kereta, bunyi lengkingan kereta yang berisik, dan pemandangan yang disajikan sepanjang perjalanan. Saya menyukai suasana stasiun, hiruk-pikuk orang mencari kereta, suasana peron, suara dari ruang informasi yang khas, juga menikmati melihat para pedagang asongan atau kuli pikul menawarkan jasa. Bagi saya, itu seperti merekonstruksi ingatan masa lalu. Merekonstruksi sepenggal ingatan tentang Bapak.
Dari balik jendela commuter, saya bisa menyaksikan rumah-rumah di sisian rel. Berderet, ada yang permanen, ada pula yang berdinding bilik. Jemuran melambai-lambai dengan hebatnya ketika commuter melintas. Ah, ini potret hampir sebagian besar kota di Indonesia! Seolah tanpa takut, orang-orang kita membangun rumah yang bersisian langsung dengan rel. Ini mengundang pertanyaan, apakah sebenarnya yang mereka pikirkan? Apa mereka tidak terganggu dengan lengkingan lokomotif yang hampir selalu berbunyi sepanjang hari, tujuh hari dalam sepekan?
Tuhan, saya bersyukur dapat menempati sebuah kamar kosan kecil yang nyaman, tanpa keributan, dan bersifat permanen. Baru saja mengamini komentar saya dalam hati, justru muncul pertanyaan baru dalam diri saya : apa arti nyaman? Apa arti kesyukuran?
###
Stasiun Bogor. Di sinilah petualangan baru bermula. Ibam sudah menunggu di depan stasiun, stranger bagi saya. Namun, selepas dari Bogor inilah saya mengerti bahwa setiap orang dulunya pun adalah stranger bagi saya. Keluar dari stasiun, kami kebingungan akan naik angkutan kota mana yang bisa mengantar kami ke Kebun Raya Bogor dengan selamat. Sukasari-Bubulak, kami naik angkutan yang sudah penuh sesak itu. Saya memilih duduk di depan. Sudah ada seorang ibu duduk di sana dengan bawaan yang lumayan banyak, tak ada minatnya untuk bergerak ketika saya mulai membuka pintu.
"Emang mau turun di mana?" tanya ibu tersebut, ketika akhirnya pintu saya buka. Beliau bersiap turun.
"Kebun Raya, Bu." jawab saya, si ibu yang sudah bersiap turun mengurungkan niatnya. Ia rupanya ingin bertukar tempat duduk, sehingga ia bisa duduk di dekat jendela. Saya kesulitan untuk duduk, sempit sekali, tapi bukankah ini seni menikmati perjalanan di kota asing? Saya tersenyum-senyum sendiri. Ibu yang sudah berumur lanjut itu mengajak saya berbincang, ramah sekali ternyata! Lihat betapa ajaibnya! Ibu yang semula saya pikir jutek lantaran tak hendak berbagi tempat duduk itu malah menanyai saya berbagai hal, kemudian merekomendasikan ini-itu yang patut saya coba selama di Bogor. Saya senang bukan main bisa berbincang dengan ibu tersebut meskipun hanya beberapa menit.
"Selamat jalan-jalan!" ujar ibu itu ketika saya sampai di Kebun Raya.
###
Kebun Raya Bogor. Saya pernah ke sana sebelumnya, entah ketika kelas berapa sekolah menengah pertama. Jadi, saya memang agak lupa apa saja yang ada di sana, selain museum kupu-kupu, rupa istana, rusa-rusa. Jadi, saya excited sekali. Baru saja melangkah ke gerbang, saya, kakak saya, dan Ibam sudah sibuk berfoto di sana-sini. Kami menyusuri setiap jengkal Kebun Raya, mendadak menjadi akrab satu-sama lain. Inilah yang menyenangkan dari sebuah perjalanan, kita bahkan bisa mengakrabi orang asing.
Kami tak lama menikmati Kebun Raya, namun bagi saya itu semua sudah lebih dari cukup. Pepohonan membuat penat saya terurai satu-persatu. Benar, oksigen mampu menyegarkan kembali sel-sel otak ini!
Kebun Raya saat itu sedang ramai. Ada beberapa rombongan anak usia taman kanak-kanak yang bermain ke sana-kemari dipandu oleh ibu gurunya- ada juga yang malah sibuk mengejar kodok atau melempar-lempar balon. Pada sudut yang lain, tampak sekumpulan remaja berkaos merah-putih sibuk berfoto. Ada juga kelompok ibu-ibu yang duduk bersantai menikmati bekal makan siang. Di sana, di sudut yang sepi, tertidur seorang bapak di bangku taman, damai rasanya! Beberapa turis asing sibuk bermain lempar bola bersama putra-putri mereka. Ah, sungguh hari yang semarak! Entah kenapa, melihat keriuhan tersebut, saya justru merasa damai, lega. Membuncah.
Entah mengapa, perjalanan ini menjadi sebuah jeda bagi saya. Sebuah jeda yang singkat, terlampau singkat namun memberikan arti tentang hidup yang sedang saya jalani. Sederhana saja tampaknya hidup ini. Hidup tak serumit apa yang kita bayangkan. Perjalanan yang saya lakukan inipun sama sederhananya seperti hidup. Tinggal rencanakan, jalankan, nikmati. Mungkin memang suatu saat kita bertemu jalan yang tak mudah dalam hidup, atau mungkin menemukan jembatan yang tak bisa lagi mengantar kita ke seberang. Saat itu terjadi, mungkin kita hanya membutuhkan sebuah rehat. Saya menyebutnya sebuah koma. Sebuah rehat yang bisa kita manfaatkan dengan duduk bersantai di rerumputan tepian jalan atau sungai, atau megamati kupu-kupu yang lewat, mendengar kicau burung yang terbang di sela-sela reranting yang menjulur, atau menghirup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam rongga dada, menikmati bekal yang kita bawa. Ini adalah sebuah jeda, sebuah koma yang akan kita lanjutkan dengan semangat yang baru sampai akhirnya menemukan titik. Mungkin jalanan yang berkelok, berdebu, dan berbatu itu akan lebih kita maknai setelah sebuah jeda. Mungkin jembatan yang tak lagi bisa mengantar kita ke tanah seberang itu bisa lebih membuat kita berpikir cerdik, bagaimana cara untuk menyeberang dengan kondisi jembatan yang tak lagi layak.
Sebuah perjalanan, yang saya lakukan ini, saya sebut dengan koma. Perjalanan ini mengajarkan saya kesederhanaan hidup, sebuah jeda yang mensyaratkan makna dari perjalanan sesungguhnya yang teramat panjang. Perjalanan ini adalah pembelajaran, hidup dan segala ornamennya adalah suatu susunan yang indah. Menjadi orang asing itu indah, menjadi pemirsa yang menonton rumah-rumah dari balik kaca kereta itu mengasyikkan dan mengajari kesyukuran. Dan, perjalanan ini mengajari saya untuk sesekali menempatkan diri bukan sebagai subjek, agar hidup ini tak begitu lelah dijalani. Perjalanan ini mengembalikan diri saya.
tulisan yang mencercau tanpa konsep utuh.
sepulang dari Depok-Bogor-Depok
11 Desember 2011
Pikiran mumat, saya akui dan itu benar-benar membuat saya tidak nyaman. Kemampuan untuk dapat switching fokus merupakan kemampuan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Saya belum memiliki kemampuan super hebat itu. Jadilah saya berantakan, seperti segulungan benang yang terberai ke mana-mana lantaran dimainkan oleh anak kucing. Mungkin hampir dua bulan ini saya menjadi seperti itu.
Bekasi menjadi kabupaten ke tujuh yang saya sambangi beberapa bulan terakhir. Kegiatan sosialisasi dan pemantauan yang nempel pada divisi tempat saya bekerja, mengharuskan saya untuk dapat mengatur kegiatan tersebut agar berjalan sesuai target yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, pagi-pagi sekali, saya sudah duduk manis di dekat pintu tol Pasteur, menunggu mobil yang akan mengantarkan saya ke Bekasi. Syukur, hanya beberapa jam saja saya ada di Bekasi, menjelang sore saya sudah duduk manis di kantor lagi. Namun rupanya, saya belum bisa beristirahat. Agenda pemantauan ke Kabupaten Garut justru semakin membayang : besok, pagi-pagi sekali saya akan ke Garut, dua hari.
Mungkin setumpukan agenda itulah yang mengantarkan saya pada gerbang kebosanan. Saya bosan dengan aktivitas yang ada, atau mungkin saya lelah. Ide untuk kabur dari rutinitas pun muncul, apalagi setelah membaca buku mengenai traveling yang baru-baru ini saya baca. Ide itu makin menggila. Saya memerlukan sebuah rehat.
###
Malam itu, saya sudah duduk nyaman di kursi paling depan bis MGI, menikmati cemilan sembari mendengarkan playlist. Gila! Saya baru saja sampai Bandung selepas ashar tadi setelah dua hari berada di Garut. Sebelum menuju terminal, seorang kawan bertanya dengan nada simpati, " Kamu nggak cape, Tan? Baru aja sampe Bandung langsung pergi ke Depok?" Saya cuma nyengir saja. Belum, untuk sebuah perjalanan, saya belum lelah. Maka saya menikmati perjalanan menuju Depok, bertemu kakak saya untuk kemudian keesokan harinya menuju Bogor.
Beberapa pesan singkat masuk ke ponsel saya, dan saya langsung terhanyut membalasnya satu-persatu. Menyenangkan bukan, menikmati perjalanan sembari mendengarkan cerita-cerita langsung dari aktor utamannya? Ada yang berkisah tentang cinta, ada yang sekedar menyapa, beberapa membagi cerita mengenai aktivitasnya di hari itu. Ah, hidup! Seperti inikah rupanya?
Semakin malam, semakin sedikit yang masih berminat mengobrol. Bis sudah memasuki Lenteng Agung, rumah-rumah penduduk kini menggantikan pemandangan jalan tol yang homogen beberapa jam lalu. Orang-orang masih berlalu-lalang. Warung-warung makan disinggahi mereka yang baru pulang bekerja. Mobil dan motor saling berpacu, jalanan diriuhi klakson angkutan kota yang kejar setoran. Kereta commuter yang baru diluncurkan PT KAI melintas mengantar berbagai profesi pulang. Sementara saya masih duduk di dalam bis, merasa seperti berada dalam sebuah akuarium besar yang berjalan. Aih, sungguh menyenangkan menikmati semua sajian gratis ini!
###
Kakak saya sudah hampir terlelap tidurnya ketika saya datang. Begitu mempersilakan saya masuk kamarnya, ia langsung menarik selimut dan bersiap bermimpi. Keesokan harinya, ia bangun dan mengajak saya ber-jogging ria di UI, saya menolak dan memilih untuk melanjutkan istirahat. Nanti, setelah kakak saya kembali dari jogging, ia akan mengajak saya ke Bogor, bertemu dengan Ibam, temannya kala masih menjadi mahasiswa.
Wah, saya tidak menolak. Dalam perjalanan saya beberapa bulan lalu ke Bogor, saya sudah meniatkan diri untuk berkeliling Kebun Raya Bogor. Namun lantaran waktu yang saya miliki tak banyak, terlebih dikejar laporan ini-itu, pada akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Bandung secepat mungkin. Maka, ketika ada tawaran untuk melancong ke Bogor, saya buncah, senang bukan main. The next trip : Bogor Botanical Garden! Saya harap perjalanan nanti bisa mengendurkan saraf-saraf saya yang mungkin sedang kebingungan sampai-sampai lebih tegang dibanding biasanya.
###
Saya dan kakak saya sudah berdiri manis di atas gerbong khusus wanita pada commuter menuju Bogor. Di sini, penumpang laki-laki dewasa tak akan diizinkan masuk. Tampak sepasang suami-istri harus berpisah di gerbong yang berbeda. Gerbong ini tak terlalu padat. Beberapa anak kecil berlarian di dalam gerbong, tertawa sementara yang lainnya bermain di atas tempat duduk. Saya memilih berdiri di sisi pintu agar bisa melepaskan pandangan ke luar, menikmati daerah-daerah yang bersisian dengan rel kereta, sepanjang Depok-Bogor.
Saya selalu menikmati perjalanan dengan menggunakan kereta. Saya menyukai bunyi deru mesin kereta, bunyi lengkingan kereta yang berisik, dan pemandangan yang disajikan sepanjang perjalanan. Saya menyukai suasana stasiun, hiruk-pikuk orang mencari kereta, suasana peron, suara dari ruang informasi yang khas, juga menikmati melihat para pedagang asongan atau kuli pikul menawarkan jasa. Bagi saya, itu seperti merekonstruksi ingatan masa lalu. Merekonstruksi sepenggal ingatan tentang Bapak.
Dari balik jendela commuter, saya bisa menyaksikan rumah-rumah di sisian rel. Berderet, ada yang permanen, ada pula yang berdinding bilik. Jemuran melambai-lambai dengan hebatnya ketika commuter melintas. Ah, ini potret hampir sebagian besar kota di Indonesia! Seolah tanpa takut, orang-orang kita membangun rumah yang bersisian langsung dengan rel. Ini mengundang pertanyaan, apakah sebenarnya yang mereka pikirkan? Apa mereka tidak terganggu dengan lengkingan lokomotif yang hampir selalu berbunyi sepanjang hari, tujuh hari dalam sepekan?
Tuhan, saya bersyukur dapat menempati sebuah kamar kosan kecil yang nyaman, tanpa keributan, dan bersifat permanen. Baru saja mengamini komentar saya dalam hati, justru muncul pertanyaan baru dalam diri saya : apa arti nyaman? Apa arti kesyukuran?
###
Stasiun Bogor. Di sinilah petualangan baru bermula. Ibam sudah menunggu di depan stasiun, stranger bagi saya. Namun, selepas dari Bogor inilah saya mengerti bahwa setiap orang dulunya pun adalah stranger bagi saya. Keluar dari stasiun, kami kebingungan akan naik angkutan kota mana yang bisa mengantar kami ke Kebun Raya Bogor dengan selamat. Sukasari-Bubulak, kami naik angkutan yang sudah penuh sesak itu. Saya memilih duduk di depan. Sudah ada seorang ibu duduk di sana dengan bawaan yang lumayan banyak, tak ada minatnya untuk bergerak ketika saya mulai membuka pintu.
"Emang mau turun di mana?" tanya ibu tersebut, ketika akhirnya pintu saya buka. Beliau bersiap turun.
"Kebun Raya, Bu." jawab saya, si ibu yang sudah bersiap turun mengurungkan niatnya. Ia rupanya ingin bertukar tempat duduk, sehingga ia bisa duduk di dekat jendela. Saya kesulitan untuk duduk, sempit sekali, tapi bukankah ini seni menikmati perjalanan di kota asing? Saya tersenyum-senyum sendiri. Ibu yang sudah berumur lanjut itu mengajak saya berbincang, ramah sekali ternyata! Lihat betapa ajaibnya! Ibu yang semula saya pikir jutek lantaran tak hendak berbagi tempat duduk itu malah menanyai saya berbagai hal, kemudian merekomendasikan ini-itu yang patut saya coba selama di Bogor. Saya senang bukan main bisa berbincang dengan ibu tersebut meskipun hanya beberapa menit.
"Selamat jalan-jalan!" ujar ibu itu ketika saya sampai di Kebun Raya.
###
Kebun Raya Bogor. Saya pernah ke sana sebelumnya, entah ketika kelas berapa sekolah menengah pertama. Jadi, saya memang agak lupa apa saja yang ada di sana, selain museum kupu-kupu, rupa istana, rusa-rusa. Jadi, saya excited sekali. Baru saja melangkah ke gerbang, saya, kakak saya, dan Ibam sudah sibuk berfoto di sana-sini. Kami menyusuri setiap jengkal Kebun Raya, mendadak menjadi akrab satu-sama lain. Inilah yang menyenangkan dari sebuah perjalanan, kita bahkan bisa mengakrabi orang asing.
Kami tak lama menikmati Kebun Raya, namun bagi saya itu semua sudah lebih dari cukup. Pepohonan membuat penat saya terurai satu-persatu. Benar, oksigen mampu menyegarkan kembali sel-sel otak ini!
Kebun Raya saat itu sedang ramai. Ada beberapa rombongan anak usia taman kanak-kanak yang bermain ke sana-kemari dipandu oleh ibu gurunya- ada juga yang malah sibuk mengejar kodok atau melempar-lempar balon. Pada sudut yang lain, tampak sekumpulan remaja berkaos merah-putih sibuk berfoto. Ada juga kelompok ibu-ibu yang duduk bersantai menikmati bekal makan siang. Di sana, di sudut yang sepi, tertidur seorang bapak di bangku taman, damai rasanya! Beberapa turis asing sibuk bermain lempar bola bersama putra-putri mereka. Ah, sungguh hari yang semarak! Entah kenapa, melihat keriuhan tersebut, saya justru merasa damai, lega. Membuncah.
Entah mengapa, perjalanan ini menjadi sebuah jeda bagi saya. Sebuah jeda yang singkat, terlampau singkat namun memberikan arti tentang hidup yang sedang saya jalani. Sederhana saja tampaknya hidup ini. Hidup tak serumit apa yang kita bayangkan. Perjalanan yang saya lakukan inipun sama sederhananya seperti hidup. Tinggal rencanakan, jalankan, nikmati. Mungkin memang suatu saat kita bertemu jalan yang tak mudah dalam hidup, atau mungkin menemukan jembatan yang tak bisa lagi mengantar kita ke seberang. Saat itu terjadi, mungkin kita hanya membutuhkan sebuah rehat. Saya menyebutnya sebuah koma. Sebuah rehat yang bisa kita manfaatkan dengan duduk bersantai di rerumputan tepian jalan atau sungai, atau megamati kupu-kupu yang lewat, mendengar kicau burung yang terbang di sela-sela reranting yang menjulur, atau menghirup sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam rongga dada, menikmati bekal yang kita bawa. Ini adalah sebuah jeda, sebuah koma yang akan kita lanjutkan dengan semangat yang baru sampai akhirnya menemukan titik. Mungkin jalanan yang berkelok, berdebu, dan berbatu itu akan lebih kita maknai setelah sebuah jeda. Mungkin jembatan yang tak lagi bisa mengantar kita ke tanah seberang itu bisa lebih membuat kita berpikir cerdik, bagaimana cara untuk menyeberang dengan kondisi jembatan yang tak lagi layak.
Sebuah perjalanan, yang saya lakukan ini, saya sebut dengan koma. Perjalanan ini mengajarkan saya kesederhanaan hidup, sebuah jeda yang mensyaratkan makna dari perjalanan sesungguhnya yang teramat panjang. Perjalanan ini adalah pembelajaran, hidup dan segala ornamennya adalah suatu susunan yang indah. Menjadi orang asing itu indah, menjadi pemirsa yang menonton rumah-rumah dari balik kaca kereta itu mengasyikkan dan mengajari kesyukuran. Dan, perjalanan ini mengajari saya untuk sesekali menempatkan diri bukan sebagai subjek, agar hidup ini tak begitu lelah dijalani. Perjalanan ini mengembalikan diri saya.
tulisan yang mencercau tanpa konsep utuh.
sepulang dari Depok-Bogor-Depok
11 Desember 2011
Comments