Sepotong Catatan Tentang Keberbaktian

Karena ridhanya-lah yang nanti akan mengantar kita ke syurga...

Beberapa hari lalu, saya membaca Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Ada satu bagian yang menarik hati saya dari novel tersebut, pada salah satu bab nya, penulis mengisahkan mengenai dialog antara seorang istri yang hampir meninggal dengan suaminya,
"Apakah engkau ridha padaku, suamiku?" tanya sang istri, sembari menahan rasa sakit yang ia rasa. Sang suami yang begitu mencintai istrinya tak sanggup menjawab, ia tak siap harus kehilangan istrinya setelah mengalami kehilangan dua anaknya yang belum jua sempat terlahir.
"Apa engkau ridha padaku?" sang isri mengulang lagi pertanyaan yang sama. Sang suami, pada akhirnya, menjawab pertanyaan tersebut.

Dari sepenggal dialog itu, penulis betul-betul memaksa saya memahami bahwa salah satu jalan seorang perempuan (istri) menuju syurga adalah ketika suaminya, ridha atas apa-apa yang dilakukan olehnya. Saya baru memahami itu.

###


Hari itu, hari yang cukup sepi di kantor. Maklum lah, hari Ahad jadi ya memang bukan jam kantor. Namun lantaran kedapatan jadwal piket, maka saya dengan tenang mengerjakan beberapa tugas kantor yang belum selesai, sembari mencuri-curi kesempatan untuk browsing. Ponsel saya berbunyi, tertulis di layarnya nama atasan saya. Wah, gawat!

"Intan, progress untuk kegiatan di Bekasi gimana? Paket sosialisasinya disiapkan ya, besok sepulang dari Tasik saya ambil di kantor. Oya, itu RAB Pemantauan Garut tolong dikoreksi lagi ya, timnya kan empat orang, oke? Satu lagi, nanti saya transfer uang untuk Pemantauan ke rekeningmu ya!" Saya berulang kali menjawab iya. Ibu biasa seperti itu kalau sedang memastikan. Ibu ingin tak ada satupun yang terlewat.
"Intan kelahiran tahun berapa?" Saya hampir saja menjawab dengan kata iya lagi, aneh sekali Ibu tiba-tiba bertanya tahun kelahiran.
"Hah? Tahun delapan sembilan, Bu. Ada apa gitu?" Rasanya tak ada kaitannya dengan isu-isu pengangkatan saya jadi staf, atau isu-isu kenaikan honor. Hm... Saya menerka-nerka.

Allah memang suka memberi kejutan. Tidak, bukan. Allah sudah merancang agenda besar untuk saya jalani, hanya saja karena keterbatasan saya sebagai manusia, saya selalu menganggap apa yang (sudah) Allah rencanakan sebagai kejutan. Balikpapan. Tiba-tiba saja kota itu memenuhi otak saya. Saya tahu, Balikpapan adalah pintu gerbang dari Provinsi Kalimantan Timur. Saya hanya tahu, Balikpapan adalah daerah kelahiran Aruna Irani, sahabat saya ketika sekolah dasar, tapi tak banyak yang saya dengar tentang Balikpapan.

Balikpapan. Sebuah pilihan yang berat mengingat saya belum juga meraih gelar sarjana. Berkarirpun baru melangkah, belum juga mendapat penghasilan yang stabil. Balikpapan. Betul-betul pilihan yang berat. Saya memang tak pernah menargetkan kapan saya akan membangun rumah tangga, namun keinginan untuk bisa menjaga hati dan amalan acap kali muncul.

Saya langsung memikirkan Mamah. Baru beberapa hari lalu saya menemuinya di rumah, kami bercerita banyak hal hingga Mamah dengan sedikit terisak mengatakan keinginannya. Ia ingin tinggal bersama saya, di Bandungpun tak masalah. Katanya adik sayapun ingin tinggal bersama saya dan ia harus merevisi mimpinya untuk berkuliah di Universitas Indonesia, mengalihkannya ke Bandung, belum tergambar akan menetapkan mimpinya di mana. Biarlah toh dia masih kelas sepuluh.
Mendengar perkataan Mamah tersebut, saya terharu. Rasanya, hal tersebut adalah tanggung jawab yang sangat besar yang pernah saya terima. Mungkin inilah jawaban Allah, kenapa beberapa bulan ini saya berpikir untuk mengontrak tempat tinggal yang lebih besar di sekitaran Bandung, atau membeli rumah (padahal honor saya jauh di bawah upah minimum kota, masih sangat mustahil untuk berpikir menyewa rumah). Saya menerima keinginan Mamah tersebut, mudah-mudahan dengan lapang. Setelah Bapak meninggal, saya memang ingin tinggal bersama beliau, khawatir sewaktu-waktu beliau sakit dan tak ada siapa-siapa yang bisa menjagai.

Persoalan Balikpapan mengganggu bangunan rencana yang saya bangun bersama Mamah beberapa hari sebelumnya. Saya hanya berpikir, mungkin memang  takdir saya adalah harus demikian. Siapa tahu memang saya tinggal di Balikpapan setelah kelulusan nanti. Siapa tahu memang saya mendapat pekerjaan yang baik di sana. Siapa tahu memang begitulah rencana Allah. Siapa tahu.

"Di mata Mamah, Intan itu masih anak kecil... Umur Intan berapa?"
"Duapuluh dua Mah..."
"Mamah mah terserah Intan aja."
"Tapi nanti Mamah sama siapa? Atau Mamah ikut aja?"
"Nggak ah, Mamah di Indramayu aja."
"Terus siapa yang jaga Mamah?"
"Iya ya? Siapa ya? Hehehe, kan ada Allah."
"Mamah ridha?"
"Mamah ridha, Tan... Intan nggak usah nanya itu. Kalaupun emang ini yang Allah takdirin ya jalani aja. Intan istikhoroh minta yang terbaik buat dunia akhirat Intan. Mamah ridha..." Saya dengar suara Mamah agak bergetar ketika mengucapkannya.
"Mamah ridha sama Intan?" Obrolan di telepon tersebut betul-betul menguras emosi saya, saya menangis tanpa suara.

Saya jadi ingat dialog dalam Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere-Liye. Dalam buku itu secara implisit dikatakan, ketika seorang perempuan telah menikah, maka ridha suaminya lah yang bisa mengantarkannya ke syurga. Nah, kalau masih berstatus anak? Ridha orang tuanya lah yang bisa mengantarkannya ke syurga. Mungkin seperti itu. Lagipula, bukankah syurga itu terletak di bawah telapak kaki seorang ibu? Maka di sini, pengabdian saya dipertaruhkan.

Tak mungkin saya begitu saja mengubah harapan yang sudah dibangun oleh Mamah dan adik saya. Mungkin ini hanya sebuah kerikil saja yang 'mengganggu' fokus saya untuk mereka berdua. Mamah, meskipun ia mengatakan bahwa ia ridha, saya tahu ia menyimpan kesedihan yang dalam. Kesedihan akan bayang-bayang kesepian ketika saya tinggalkan. Mungkin pikiran tersebut terlalu jauh, tapi saya tak bisa pergi jauh dari beliau.

Mamah, mungkin ia selalu tampak tegar di hadapan putri-putrinya, tapi tidak. Ia hanya berjuang menutupi perasaan terdalamnya, ia hanya berjuang menyimpan kesulitan-kesulitannya di balik senyumnya di hadapan kami putri-putrinya. Ia mungkin sering mengirim pesan yang tampak tak penting, tapi ia hanya ingin kami anak-anaknya membalas pesan tersebut meskipun dengan sebuah icon smiley. Ia mungkin merelakan ketika satu-persatu putrinya dibawa pergi oleh laki-laki yang ditakdirkan Allah untuk mereka, namun di hatinya, ia menyimpan satu ruang kosong bagi putri-putrinya ketika mereka ingin berbagi cerita, atau sekedar mengobrol mengenai bagaimana berumah tangga.

Mamah. Saya mencoba mengerti hatinya hari itu. Hati yang sangat halus dan perasa. Saya tak ingin ia sedih dengan keputusan saya untuk pergi.

"Mah, Intan di Bandung aja ah. Kan Mamah pingin tinggal di sini..."
"Lho, kenapa? Nggak apa-apa Tan, jangan gara-gara Mamah kamu nolak..."
"Nggak Mah, mungkin belum saatnya aja. Kan Intan pingin tinggal sama Mamah, sama Dede."
"Mamah ridha kok, tadi juga habis sholat Mamah doa supaya Intan dikasih jawaban yang terbaik sama Allah. Intan kan baik, mudah-mudahan dapat yang baik juga..."
"InsyaAllah Mah. Sekarang Intan jalani yang ada sekarang dulu aja."
"Kalau Intan pinginnya gitu, Mamah dukung aja."
"Mamah ridha?"

Pelangi menutup obrolan kami. Saatnya untuk menjalani episode untuk memelihara bakti. Saya sudah tak memiliki Bapak, oleh karena itu kepada Mamah lah saya harus penuh berbakti. Saya akan menyelesaikan kuliah saya dan bekerja baik-baik di sini. Mulai untuk menabung dan mempersiapkan diri untuk memboyong Mamah dan adik saya ke Bandung. Saya masih punya waktu untuk mewujudkannya. Kalaupun ternyata takdir Allah berkata lain, saya harap saat itu saya sudah benar-benar membuat Mamah ridha pada saya. Wallahua'lam bishshawaab.

6 Desember 2011


Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi