Membaca Alwy


Ada sebuah senja, yang dulu juga, dipenuhi aroma kenanga (Ahmad Syubbanuddin Alwy)
 
Saya tidak pernah mengenal Alwy, yang dikenal sebagai sastrawan-budayawan Kota Udang. Ini bisa diartikan bahwa saya memang tidak pernah bertemu dengan Alwy, atau mendengar namanya disebut, atau membaca karyanya. Bagi saya, Alwy adalah sesuatu yang belum tercipta dalam ruang kognisi saya.

 Hingga suatu hari, setengah tahun berlalu semenjak Alwy pergi, Alwy muncul begitu saja di hadapan saya. Adalah Pak Supali Kasim yang mengantarnya, lewat sebuah buku berjudul “Ketika Alwy Pergi; Kumpulan Esai dan Puisi”. Buku itu diberikannya pada Kartika, kakak saya, yang kemudian saya mintakan izin untuk saya baca lebih dulu. Siapa Alwy hingga orang-orang menulis tentangnya dalam sebuah buku setebal dua ratus tiga puluh sekian halaman?

Sebanyak 45 tokoh membincang Alwy dalam buku itu. Tokoh yang berasal dari beragam latar belakang, meski kebanyakan memang adalah mereka yang bergelut dalam sastra dan budaya. Saya melihat Alwy yang hidup; seperti saya yang melihat film dokumenter dari layar kaca. Namun membaca kehidupan Alwy dalam buku itu seperti membaca beragam buku sekaligus. Saya menemukan sastra, budaya, sosial, psikologi, agama, rumah tangga, parenting, sejarah, dan entah apa lagi dari sosok seorang Alwy. Tampaknya benar, Alwy ada dalam setiap bagian dirinya. 

Membaca diri Alwy lewat kenangan orang-orang di sekitarnya ternyata cukup mampu mengkonstruksi sosok Alwy di benak saya. Aneh, padahal saya baru mengenalnya dari beberapa lembar yang saya baca. Namun sosok itu, sosok Alwy, tampaknya sangat familiar dan dekat. Membaca diri Alwy lewat beragam persepsi dari orang-orang di sekitarnya tidak membuat saya merasa menguliti Alwy hingga tandas. Namun begitu, Alwy bagi saya masih misteri, misteri yang mungkin tidak akan sanggup saya pecahkan hingga saya bisa menemuinya. Mustahil memang. 

Lalu bagi saya yang baru tuntas membaca Alwy dalam sepekan ke belakang, adalah mustahil untuk bisa memberikan deskripsi lengkap mengenai dirinya. Alwy sepertinya paham dan menginternalisasi betul pepatah lama, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Ataui a memang sudah sejak lama menempatkan diri sebagai buah tutur yang baik di hati orang-orang dekatnya, maupun orang-orang yang pernah mengenalnya, bahkan mungkin bagi saya yang tidak tahu apa-apa ini. Namun Alwy, melalui buku itu, mendesakkan sebegitu banyak kata yang tiba-tiba begitu rajin saya tuturkan di media sosial. Ia seperti mendorong saya, bahkan untuk menulis catatan ini.

Maka izinkan saya, yang lancang membincangnya sedemikian rupa ini, untuk menyampaikan  hormat paling dalam, kepada sosok yang belum pernah saya temui itu. Alwy, atas semua pelajaran hidup yang engkau tebar, lalu disemai dan diceritakan kembali oleh orang-orang di sekitarmu, saya berterima kasih.

Mungkin karena Alwy, kata-kata berjejal-berdesakan
Rindu begitu menghimpit, dan firasat, tegar bermain tak mau pamit.
: maka ada sebuah senja, yang dulu juga dipenuhi aroma kenanga.
Dan senja itu, kamu.



Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi