Menapak Masjid Baitul Ihsan

Hari sudah ditutup ketika aku sampai di Masjid Baitul Ihsan yang terletak di komplek Bank Indonesia, Jakarta. Bersama beberapa rekan dari Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (IMAMUPSI), akhirnya aku bisa menjejak masjid yang beberapa hari sebelumnya baru kuketahui lewat jasa internet. Masjid ini cukup besar untuk ukuran masjid kantor. Sebenarnya, ada beberapa masjid kantor juga yang pernah kusambangi dan memang cukup besar juga, yakni Masjid Habiburahman di komplek PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Masjid An-Nuur di PT Inti, serta Masjid An-Nuur di komplek PT Biofarma, Bandung. Ketiga masjid ini terbuka juga untuk umum.


Sebenarnya, ada satu hal yang cukup mengganjal hatiku ketika teman-teman IMAMUPSI mengajak untuk beritikaf di Masjid Baitul Ihsan. Apa istimewanya masjid ini? Bukankah Jakarta justru lebih dikenal lewat Istiqlal-nya, atau lewat Masjid At-Tin di Taman Mini sana? Kenapa kita tidak singgah di sana saja? Hal itulah yang mendorongku untuk browsing- mencari referensi mengenai masjid ini lewat internet. Hanya beberapa hal saja kutemukan, tapi tak membuatku cukup puas untuk menerima mengapa masjid ini yang justru direkomendasikan oleh rekan-rekan IMAMUPSI.

Selepas dua kali naik bis Trans Jakarta dari Gambir sana (padahal jaraknya tak terlampau jauh antara Gambir dan BI), aku melemparkan pertanyaan kepada Andi, sang Koordinator Regional Jakarta-Jabar IMAMUPSI. Ia menjawab,
“Kajiannya, Teh… sebenernya untuk siswa sama mahasiswa, masjid ini emang jadi rekomendasi. Kajian di sini, keilmuannya dapet, Teh… Beda lah dari masjid lain. Untuk itikaf juga lebih kerasa, walaupun ga serame Istiqlal atau At-Tin. Tapi, masjid ini selalu jadi tujuan anak-anak SMA sama mahasiswa untuk itikaf. Bacaannya juga bagus teh. Gitu.”

“Iya, hampir samalah kayak Habiburahman yang di Bandung kalau untuk muatan kajiannya. Itu kenapa kita pilih ke masjid BI aja.”

Aku manggut-manggut menerima jawaban Andi, yang juga ditambahkan oleh Wahyu, sang Presiden Nasional IMAMUPSI. Oke, alasan diterima. Ya Allah terima kasih, telah memberiku satu kesempatan untuk menikmati jamuan-Mu di masjid ini…

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika kami sampai. Namun di pelataran Masjid Baitul Ihsan masih ramai. Masih banyak orang yang berduyun-duyun datang, yang rupanya tak hanya dari kalangan siswa atau mahasiswa. Ada juga karyawan, ibu-ibu, bapak-bapak, siswa SD-SMP, pengusaha, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Meski tak ada satupun tenda seperti yang ada di Habiburahman, namun tak mengurangi kesemarakkan masjid ini di akhir Ramadhan.

Di depan pintu masuk utama, ada dua meja panitia yang sibuk mendata jamaah yang hadir, maksudnya agar bisa memfasilitasi pembagian makan sahur nanti bagi para jamaah. Ini juga jadi poin kelebihan masjid ini. Sementara di Masjid Salman ITB, 1000 porsi cuma-cuma tersedia bagi jamaah setiap waktu berbuka tiba, di Baitul Ihsan, mereka memberi entah berapa ratus porsi bagi jamaah, baik ketika berbuka maupun sahur secara cuma-cuma.

Begitu memasuki masjid, terdengar seorang ustadz tengah memaparkan kajian mengenai keutamaan lima shalat sunnah, dengan menggunakan proyektor. Hal ini juga jarang kutemui di Bandung, seorang penceramah menggunakan media seperti itu ketika memberikan ceramah Ramadhan kepada jamaah masjid. Paling banter aku melihat seperti ini ya saat tutorial di kampus ketika masih jadi mahasiswa baru. Lagipula, biasanya ceramah Ramadhan itu diselenggarakan sebelum melaksanakan shalat tarawih, atau selepas shalat subuh, bukan? Namun di sini, selepas shalat tarawih baru diadakan ceramah Ramadhan, sampai hampir lepas malam. Dan anehnya, banyak yang masih terjaga untuk menyimak. Ceramahnya pun bersifat dua arah, artinya terbuka kesempatan bagi jamaah untuk berdialog dengan sang ustadz, ataupun sekedar memberikan pertanyaan.

Ruang shalat akhwat terletak di lantai dua, cukup luas namun penuh lantaran malam itu banyak yang mengikuti itikaf. Lokasi ruang shalat yang berada di lantai dua membuat para akhwat lebih nyaman untuk melakukan ibadah, atau sekedar untuk melakukan kepentingan pribadi. Sementara itu, lokasi tempat wudhu yang berada di luar masjid sebenarnya merupakan tantangan tersendiri bagi para jamaah itikaf untuk mengalahkan udara dingin malam hari.

Malam makin merangkak. Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB. Jamaah sudah terbangun lagi dari tidur yang hanya beberapa saat saja. Mereka telah bersiap melakukan shalat malam, dipandu oleh imam Masjid Baitul Ihsan. Hampir sama seperti di Habiburahman, setiap malam dibacakan 3 juz Al-Quran dalam rangkaian shalat tarawih, tahajud, dan witir. Shalat malam itu dilaksanakan hingga pukul 03.30 WIB.

Saat sahur, suasananya seperti… what we called this? Kalau aku merasa seperti menyatu dengan jamaah lainnya. Di satu sisi masjid, jamaah menikmati makanannya. Meski berkelompok, namun luas ruangan yag digunakan jamaah untuk makan tak terlalu lebar sehingga kita seperti berada dalam satu keluarga besar yang duduk dan makan bersama, meski tak saling mengenal. Sementara itu, sebagian jamaah lain memilih menikmati sahurnya di halaman masjid atau di tangga masjid.


Menyambangi Baitul Ihsan, 13-14 Agustus 2012

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Dolly Ditutup

10 Buku Ini...

Cirebon #2 : Sunyi di Sunyaragi