A Piece of Didit

dan kita sekali lagi dibuat tak mengerti, tentang satu rahasia yang pasti terjadi.

Hampir tengah malam ketika saya membaca sepotong tweet yang menyisip dalam timeline twitter saya :
@Mpeby : Eh temen2 sasi 2007, dapet kabar klo Didit meninggal..please, jangan becandaanlah
Terkejut, pasti. Meski selama masa SMA saya selalu sekelas dengan Didit, namun saya belum sepenuhnya yakin kalau Didit yang dimaksud oleh Mpeb adalah Didit Indra Agung Wibawa, teman sekelas saya selama tiga tahun SMA. Di sekolah saya, pada angkatan saya, kalau tidak salah ada dua orang bernama Didit, jadi sepertinya saya perlu mengonfirmasi, khawatir kabar tersebut hanya hoax meski tak dapat disebut sebagai candaan. Dan malam itu juga, seorang kawan mengirim pesan :
Ntang, Didit meninggal. Kita doain ya...

Maka benarlah rahasia itu hanya milik Allah...

Tanggal 5 Februari lalu, saya sempat mengikuti tweet Didit yang muncul dalam timeline saya. Ia asyik mengobrol dengan teman-temannya, sesekali menyemangati. Tampaknya, ia ceria sekali. Maka saya memang sangat terkejut ketika mendengar kabar meninggalnya Didit yang tiba-tiba (sebenarnya, bukan hal yang tiba-tiba. Hanya saja, karena kita tidak tahu, jadi seolah menjadi tiba-tiba).

Didit, entah sampai kapan saya akan menyimpan kenangan tentangnya. Namun, yang pasti saya ingat darinya adalah, ia-lah yang memborong pisang cokelat dagangan saya sewaktu SMA. Tertawa. Ia juga rekan ketika harus mengikuti lomba pidato Bahasa Mandarin yang mengharuskan kami dilatih di Bandung selama sepekan. Dan ya, Didit menunjukkan prestasinya dengan meraih nilali yang lebih tinggi dari saya kala itu, meski kami berdua tidak menjadi juara. Mungkin ia begitu mensyukurinya karena ia tersenyum dan tertawa. Kamipun masuk dalam jajaran siswa yang tak lolos seleksi beasiswa Super Motivasi yang jadi primadona angkatan kami kala itu. Namun ia tetap tersenyum dan tertawa.

Kami melanjutkan kuliah di Bandung, saya di UPI dan ia di Polban bersama dua orang teman sekelas yang lain. Hampir tak pernah bertemu sepanjang kuliah selain di acara buka puasa bersama dan sore itu. Sore itu saya tengah berjalan sendiri dari Sarijadi menuju Gegerkalong ketika sebuah motor berhenti di depan saya, menyapa yang dibalas kerutan kening saya. Ia lah Didit, yang dengan cerianya membuka helm dan bertegur sapa, sekedar berbasa-basi dengan teman lama yang bertahun-tahun tak bertemu. Ia lah yang kemmudian memberi saya buah tangan, satu plastik berisi kerupuk kulit ikan yang dibawanya dari Indramayu.

Sesederhana itu saja saya mengenal Didit. Tak banyak kenangan yang dapat saya ingat. Namun saya harap, hal-hal kecil tersebut masih mampu saya ingat sampai kelak saya bertambah usia. Seperti (alm) Rayendra yang masih bisa saya ingat di sela-sela ingatan saya yang makin berkurang kapasitasnya.

Sekali lagi, ini hanya kenangan yang mampu saya ingat. Ia suka sekali tertawa dan menularkannya kepada orang lain. Ia gemar sekali belajar, meski terkadang hasil yang didapat tak sesempurna yang diharap. 

Sekali lagi, Tuhan memanggil orang-orang yang saya kenal setelah tahun lalu telah pula menjemput Rayendra, Pak Djarot dan Suci.


Dan kematian, bukanlah lagi masalah rahasia, kita hanya perlu meyakininya di balik ketidakmengertian manusiawi kita.



Dit, bahkan ketika Allah memanggil lagi, kamu tetap bisa tersenyum... semoga khusnul khotimah. Kami semua sayang kamu, tetapi rasa sayang kami tak sanggup melampaui rasa sayang Allah.



Didit Indra Agung Wibawa, 6 Februari 2013.
dari fb Didit


Comments

Popular posts from this blog

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Ed dan Erupsi Kelud

Indramayu dan Potensi Kebaikan