Perjalanan : Menulis


Kapan tepatnya saya mulai menulis? Hm, saya sendiri tidak begitu tahu, namun yang jelas hari itu, ketika saya masih kelas dua sekolah dasar, Bapak memperkenalkan saya pada sebuah mesin tik di kantornya. Saat itu, saya baru memiliki seorang adik. Perasaan gembira itu saya tuangkan dalam beberapa kata, dengan judul Adikku. Ya, sebuah puisi khas anak-anak yang polos, apa adanya.

Di sekolah dasar saya, Ibu Guru sering menyuruh kami menulis, terutama ketika ada event tertentu seperti libur lebaran atau libur kenaikan kelas. Saya menyukainya karena saya punya banyak hal untuk diceritakan, seperti ketika harus duduk di sela gerbong kereta ketika pulang lebaran di rumah nenek atau ketika menemani Bapak berjalan-jalan menengok sapi miliknya.

Saya mengawali hobi saya menulis dengan menulis puisi, berlanjut dengan menulis pengalaman pribadi. Ketika saya mengakrabi majalah Bobo, saya mulai tertarik menulis cerita fiksi. Alhasil, saya menyediakan buku khusus untuk menulis cerita, yang kadang saya lengkapi dengan gambar tokoh-tokoh yang ada dalam cerita saya tersebut. Saya berharap, saya bisa menemukan kembali ‘harta karun’ saya tersebut.

Beranjak SMP, saya mulai menggilai lagi menulis puisi. Kebetulan, di SMP ada majalah dinding yang semakin memfasilitasi saya untuk menulis. Saya mulai mengumpulkan keberanian untuk memajang tulisan saya di majalah dinding, sesuatu yang tidak saya temui ketika sekolah dasar. Suatu hari, Guru Bahasa Indonesia meminta kami sekelasa menuliskan apa yang kami harap dari pelajaran Bahasa Indonesia. Saya menuliskan keinginan saya untuk membentuk sebuah kelompok wartawan cilik di sekolah. Suatu saat, harapan tersebut dikabulkan oleh Ibu Kokom, guru Bahasa Indonesia saya. Saya dan beberapa teman dipilih untuk mengelola Majalah Dinding Ghasasi. 

Ibu Kokom inilah yang betul-betul memfasiltasi teman-teman yang suka menulis. Suatu kali, beliau menugaskan kami sekelas untuk membuat cerita pendek. Saya senang karena sedang punya ide menulis. Saya menulis tentang anak-anak yang suka bermain petasan ketika bulan Ramadhan. Cerita-cerita itu tidak disimpan begitu saja oleh Ibu Kokom. Beliau menyuruh kami membacanya di kelas satu per satu. Saya cukup puas dengan cerita pendek saya yang pertama saya buat untuk tugas tersebut. Hingga tiba suatu hari, Ibu Kokom memanggil beberapa orang dari kelas kami. Ia meminta kami menulis ulang cerita pendek yang kami tulis tempo hari. Ia bilang, tulisan kami bisa dimasukkan ke tabloid lokal milik Pemerintah Daerah. Darah saya berdesir. Apa iya bisa? Cerita pendek saya tersebut akhirnya nampang di salah satu edisi tabloid Mulih Harja.

Ibu Kokom kemudian dipindahtugaskan ke salah satu sekolah menengah pertama baru rintisan Pemerintah Daerah yang disebut-sebut sebagai salah satu sekolah terbaik di Kabupaten Indramayu. Tentunya, saya dan kawan-kawan sedih mendengar hal tersebut. Kepengurusan redaktur Majalah Dinding Ghasasipun berganti. Saya sudah akan masuk SMA.

Mengikuti pendidikan di SMA terbaik di Indramayu membuat saya minder bukan kepalang. Saya kehilangan keceriaan masa SMP saya dulu, saya tidak lagi menulis. Hal-hal yang bersifat akademik sepertinya mengungkung diri saya. Maka, ketika kesempatan untuk bergabung dalam Forum Anak Kabupaten Indramayu, saya tak lagi berpikir dua kali untuk menolak. Keikutsertaan saya di forum tersebut mengakibatkan saya sering tidak masuk sekolah karena harus ke sana-kemari, pergi dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu kota ke kota lain. Saya menikmati hal tersebut sampai suatu ketika saya masuk ke dalam lingkaran OSIS. Kejenuhan selama di OSIS, rasa jengkel yang sering meluap saya tuangkan dalam bentuk tulisan yang kadang menghentak-hentak karena emosi saya berada dalam status marah juga kecewa.
Saat itu, saya seringkali duduk di pojokan kelas seorang diri, menikmati suasana kelas yang gaduh dan saya merasa tidak menyatu di dalamnya. Bagaimana tidak, saya sering tidak masuk sekolah jadi saya tidak mengakrabi teman-teman sekelas. Maka muncullah puisi-puisi tentang sebuah negeri yang damai, tentang bebungaan, tentang impian, tentang dunia anak-anak, persahabatan. Ini puisi-puisi pelarian. Saya menuliskan puisi tentang cinta. Saya mulai mengumpulkan keberanian untuk menulis sebuah cerita, yang sampai tulisan ini dibuat tak kunjung rampung.

Di kelas tiga SMA, saya jatuh cinta pada Taufik Ismail karena puisi-puisinya yang sederhana dan jujur. Sampai suatu ketika, guru Bahasa Indonesia saya menyuruh kelas kami menulis sebuah cerita pendek. Saya kembali bersemangat. Saya menuliskan cerita tentang anak pesisir yang mengadu nasib di Ibu Kota dan terjebak menjadi pencuri. Saya terinsiprasi oleh bait-bait puisi Taufik Ismail ketika mneulis cerita tersebut. Saya menyukai tulisan untuk tugas akhir saya ini, walaupun untuk disebut karya yang baik dan laik disebut cerita pendek saya tahu tulisan saya belum ada apa-apanya.

Saya mulai menjadi mahasiswa. Saya masih menulis puisi. Saya mulai mengisi blog pribadi yang saya buat ketika SMA dengan cerita keseharian. Dalam puisi saya menuangkan gagasan yang tidak bisa secara eksplisit saya sampaikan dalam bentuk catatan harian, sementara dalam catatan harian saya menuliskan apa-apa yang belum bisa saya simpulkan dalam bentuk puisi. 

Sekarang di sinilah saya. Saya masih menulis. Menulis cerita pendek satu kali yang ditolak salah satu majalah online. Sekarang hanya dua hal yang mungkin saya tulis, puisi dan catatan harian. Berseling di antara dua hal tersebut. Saya harap, saya akan terus menulis. Menulis bagi saya adalah pelepasan, sebuah proses penemuan. Saya masih ingin menikmati menulis entah apakah akan berbatas kelak.


5 Februari 2012 

Comments

Popular posts from this blog

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Ed dan Erupsi Kelud

Indramayu dan Potensi Kebaikan