Indahnya Jikalau Kita Mampu Mengenal
Kadang kita tak
menyadari kalau di luar sana, ada orang-orang yang mengenal diri kita tanpa
kita tahu.
Mengawali
tahun 2012, saya berekesempatan menghadiri sebuah acara pelatihan wirausaha
bagi para ODHA di wilayah Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Kehadiran saya di
acara tersebut adalah undangan personal dari salah seorang rekan yang bergerak
di isu-isu HIV/AIDS di Indramayu. Sykur saya berkesempatan untuk hadir.
Saya
memilih untuk duduk di sudut belakang, agar dapat mengobservasi para ODHA
selama kegiatan. Mereka tampaknya cukup antusias. Kursi yang ada di ruangan
tersebut terisi penuh. Saya mengapresiasi kelompok dampingan sebaya (KDS) bagi
ODHA di wilayah ini karena mampu memfasilitasi para ODHA dalam hal
pemberdayaan.
Tiba
pada sesi terakhir dari pelatihan tersebut, saya tak sengaja bertatap muka
dengan seseorang yang sedari tadi duduk tak jauh dari saya. Saya ingat, ia
beberapa kali melempar senyum pada saya.
“Kamu
anak MCR, ya?” tanyanya pada saya.
“Bukan,
Mba... Cuma waktu sekolah dulu memang suka nongkrong
di MCR...” jawab saya.
“Oiya!
Kamu Intan kan?”
“Iya...
kok Mba tahu?” Saya bingung karena ternyata ia mengetahui nama saya.
“Saya
Sinta, dulu pernah di MCR. Pantes aja, dari tadi kayak kenal wajahnya! Eh Intan
mah dulu di apa tuh ya?”
“Forum
Anak, Mba.” Wah, Mba Sinta mengungkit aktivitas lama nih! Malu saya karena
Forum Anak di Indramayu sudah pergi seiring kami pengurusnya kuliah.
“Oiya,
Forum Anak! Kalau Forum Anak waktu itu ngapain aja kegiatannya?”
“Kita
ke sekolah-sekolah Mba, sosialisasi tentang Hak-hak Anak.”
“Masih
jalan?”
“Wah,
udah nggak Mba. Temen-temen udah pada kuliah semua di luar kota.”
“Oiya
yaa... Eh, gimana kabar Bapak? Intan tuh anaknya Pak Iwo kan ya?” Ini membuat
saya shock. Bisa-bisanya Mba Sinta
tahu nama Bapak!
“Bapak
udah nggak ada, Mba. Mei kemarin meninggal.”
“Eh,
maaf nggak tahu... Turut berduka ya Tan...”
“Iya
Mba, nggak apa-apa.”
“Intan
rumahnya yang di Pande kan ya?” Pertanyaan beliau kali ini juga menambah kaget
diri saya, si Mba ini ternyata begitu mengenal saya!
“Oh,
nggak Mba, udah pindah ke Pekandangan Jaya.”
***
Hari
itu, 28 Januari 2012, mendekati hari pernikahan kakak saya. Rencananya, hari
ini, teman-teman saya akan datang. Mereka sengaja diundang ke Indramayu untuk
menjadi Pagar Ayu di acara tersebut. Mengingat ini kedua kalinya mereka
bertandang ke rumah, maka saya bersiap siaga mnejemputi mereka, khawatir mereka
nyasar.
Target
pertama adalah menjemput Fauzia. Ia rajin sekali pagi-pagi sudah berangkat dari
Cikarang. Jam 9 tadi Fauzia bilang sudah sampai Subang. Jam 10.00, saya baru
akan menjemputnya di Celeng. Saya sedang
menunggu angkot saat itu ketika melihat sebuah becak di kejauhan. Warnanya
hijau mencolok, mengingatkan saya pada sebuah becak yang begitu saya kenal
semasa SMA dulu. Ternyata dugaan saya benar, itu adalah becak milik Mamang itu,
Mamang Becak langganan sahabat saya, Fanny Aditya. Yup, saya memilih naik becak
saja, sekalian silaturahim dengan beliau. Saya tidak mengingat namanya, atau
memang dari dulu saya tidak pernah tahu siapa nama Mamang Becak ini.
“Hei
Tan! Apa kabar kamu?” tanyanya, masih seramah dulu. Hebat, Mamang masih ingat
nama saya! Padahal sudah hampir lima tahun lalu terakhir kami bertemu.
“Alhamdulillaah
sehat Mang! Mamang sih?” saya balik bertanya.
“Ya
sehat-sehat. Kok kamu ada di sini? Bukannya rumah kamu tuh di Pande?” Ia masih
ingat rumah saya yang dulu rupanya.
“Yee
Mamang kemana aja! Saya udah lama kali pindah ke sini!”
“Oh
gitu? Haha... kamu kuliah di mana Tan?”
“Di
UPI Mang!”
“Jadi
guru dong ya? Hehe”
“InsyaAllah,
Mang.”
“Kalau
Fanny di mana?”
“ITB
Mang.”
“Udah
lulus belum dia?”
“Udah
Mang, langsung lanjut S2 malah!”
“Oo,
kalau kamu?”
“Belum
Mang, hehehe. Semester tua nih Mang!”
“Ya,
semoga sukses aja ya!”
“Aamiin...”
“Eh
Tan! Masih suka bikin kapal-kapalan nggak?” pertanyaannya kali ini membuat saya
tercengang sendiri. Gila, saya saja hampir lupa kalau dulu suka iseng membuat
perahu-perahu kertas yang berisi curhatan itu!
“Wah?
Mamang masih inget aja rupanya! Nggak Mang, sekarang mah. Hehehe.” Saya jadi
tertawa mengingat betapa isengnya diri saya dulu, yang suka menghentikan sepeda
saya untuk sekedar menaruh perahu kertas saya di kali Cimanuk dekat sekolah.
“Iya,
kan dulu kamu suka bikin kapal-kapalan terus ditaro di kali ya! Hahaha.”
***
Saya
terharu. Pertemuan dengan dua orang dari masa lalu tersebut betul-betul
membuat saya berpikir. Betapa mereka begitu mengenal saya, sementara saya tak
betul-betul mengenal mereka dengan baik. Betapa kita seringkali mengacuhkan seseorang yang memperkenalkan dirinya pada kita, kadang tak sampai lima menit kemudian kita sudah melupakan namanya. Padahal, alangkah indahnya dunia ini kalau tidak hanya diisi dengan perihal "aku". Bukankah dunia ini tak hanya berisi tentang "aku"? Ada "kamu" dan "dia" juga di luar sana, orang-orang yang dapat membuat kita belajar bagaimana menikmati sebuah hidup. Bukankah menyenangkan bila kita dapat mengikatkan diri dalam ukhuwwah? Bukankah dengan menyediakan satu ruang di hati kita bagi keberadaan orang lain akan membuat hati kita hangat? Ada seseorang di sana yang mengenal kita dengan baik. Bukankah akan adil bila kitapun mengenalnya dengan baik?
Mungkin Allah ingin saya belajar untuk
menghargai orang lain dengan mengenal mereka dengan baik, mengetahui apa-apa
saja kesukaan mereka, mengetahui setidaknya sedikit tentang keluarga mereka, teman-teman
mereka. Bukankah seharusnya seperti itu silaturahim? Bukankah sebenarnya
seperti itu ukhuwwah, ketika mengenal tak sebatas pada mengenal saja, namun
berlanjut pada tahap saling memahami dan saling menghargai?
Saya masih harus
banyak belajar mengenai hal ini sepertinya. Wallahua’lam
bishshawaab.
Comments