Ia Mengobrak-Abrik Impian Saya!

Aih, judul macam apa yang saya buat untuk tulisan ini? Saya juga tidak mengerti karena saya sendiri tidak terlalu mau ambil pusing dalam pemilihan judul kali ini. Ya, setidaknya mungkin itu yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini: ia (betul-betul) menngobrak-abrik bangunan impian saya!

***

Saya dibenturkan pada pertanyaan ini akhirnya: apa yang menjadi tujuan hidup saya? Sedari dulu saya sudah jatuh cinta pada sepenggal kalimat fa ayna tadzhabuun? ana tadzhabu 'alallaah! Sebuah kalimat yang mengindikasikan bahwa kepada Allah-lah langkah-langkah ini tertuju. Namun malam itu, ketika seharusnya saya menikmati malam seorang diri, seseorang membenturkan saya pada tujuan hidup saya, impian-impian saya yang pada akhirnya menciptaka serentetan pertanyaan lain dalam benak saya.

***

Saat ini, saya bekerja pada salah satu lembaga semi LSM. Pekerjaannya sebagai relawan, merangkap juga staf pada salah satu divisi, juga mengasisteni staf ahli psikologi. Mengapa dan untuk apa saya di sini?

***

Agak berbalik pada saat saya masih kelas dua sekolah menengah pertama. Tahun 2003. Saya diikutsertakan pada salah satu pelatihan kader anti narkoba se-Jawa Barat. Sepulangnya dari sana, saya getol membuat tulisan mengenai bahaya narkoba, pun mengisi sesi mengenai narkoba di sekolah. Saya bertanya ke sana-kemari mengenai narkoba, mencoba mengayakan diri dengan isu-isu terkait hal tersebut. Mengapa dan untuk apa saya melakukan itu semua?

***

Tahun 2004. Saya resmi menjadi siswa berseragam putih abu. Menjadi gadis biasa-biasa saja, cenderung menutup diri bahkan. Sampai suatu hari, oleh pengurus OSIS saya diajak mengikuti seminar tentang HIV/AIDS di Balai Desa. Berlanjut dengan diikutsertakannnya saya pada sosialisasi mengenai HIV/AIDS di salah satu sekolah yang memperkenalkan saya pada organisasi berjuluk MCR dan 25 Messengers Jawa Barat.
Tahun 2005, saya diundang dalam kegiatan Pembentukan Forum Anak yang difasilitasi oleh MCR Indramayu dan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Barat, dan terdamparlah saya menjadi sekretaris dalam Forum Anak itu. Mulailah saya melakukan kegiatan sosial itu: tiap pekan membahas isu-isu hak anak, melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, kerja bakti membersihkan alun-alun kabupaten, mengunjungi dan berbagi dengan teman-teman di panti asuhan...

***

Saya sudah kuliah sekarang. Tahun 2008 memasuki semester tiga ketika secara tak sengaja menemukan brosur 25 Messengers Jawa Barat, yang mengantarkan saya menjadi relawan di sana. Ketika akan berangkat ke pelatihan untuk relawan, seorang kawan dengan serius berkata, "kamu nggak takut ketularan apa, Tan?" yang hanya bisa saya jawab dengan senyum.
Keikutsertaan saya sebagai relawan memaksa saya memahami HIV/AIDS, salah satu caranya dengan bertandang ke sekolah-sekolah di Bandung untuk mensosialisasikan HIV/AIDS. Agenda yang cukup menyita waktu, dan baru saya sadari ketika ada kawan yang megomentari, "ngapain sih Tan, ikut-ikut LSM kayak gitu? Mending kamu nge-privat aja, dapet duit daripada ikut LSM!" yang juga saya tanggapi dengan senyum. Sudahlah, toh saya menyukai apa yang saya jalani. 
25 M melibatkan saya dalam pengambilan data di anak jalanan, sosialisasi, sampai menjerumuskan saya di sebuah proyek bertajuk pendidikan. Pada 2010, 25 M mendaulat saya bersama tiga orang kawan lain untuk mengelola program Support and Motivation Learning (SMILE) for Children, sebuah program pendidikan tambahan bagi anak-anak tidak mampu, program berjangka 3 bulan.

Keikutsertaan saya di 25 M juga kondisi saya yang berkerudung (saat itu menjadi hal yang sangat jarang di 25 M), rupanya menarik perhatian seorang kawan yang kemudian mengajak saya membantu sebuah yayasan, yang juga concern dalam ranah remaja, juga HIV/AIDS. Di sini, saya bersama tim mengisi pesantren Ramadhan dengan materi-materi HIV/AIDS, juga melakukan aksi menolak seks pranikah, serta mendengrkan curhatan anak-anak SMA.

***

Tibalah pada tahun 2011, ketika saya harus mendampingi dosen saya mengobservasi di sebuah lembaga semi LSM. Saya datang ke lembaga itu hanya sebatas menemani dosen, sampai kemudian lembaga tersebut merekrut saya sebagai relawan.

***
Fa ayna tadzhabuun?
Kalimat itu mungkin hanya ada dalam kolom motto hidup pada berlembar-lembar cv yang saya buat. Rupanya saya tidak mampu memakna. Begitu yang saya simpulkan kektika seseorang ini mengajak saya mengobrol pada malam itu.
"Apa coba gunanya kita ada di sini?" tanyanya, yang ingin saya jawab saya cuma suka beraktivitas seperti ini, namun saya urung mengatakannya.
"Allah tuh bukan tanpa sengaja 'naruh' kita di sini, Tan... Saya mah yakin dari awal kalau Allah 'naruh' kita di sini tuh buat dakwah!" wah, bahasannya udah berat euy, ucap saya dalam hati.
"Ngebuat orag bahagia atau bisa bantu orang lain nemuin kebahagiaannya, apa itu bukan sesuatu yang luar biasa, Tan?" saya menngamini kalimatnya ini, hal tersebut juga lah yang saya pegang dari masa putih-biru.
"Semua ini celengan kita nanti Tan... Saya nggak bisa tuh berinfak banyak-banyak, ngejalanin sunnahpun nggak rajin-rajin amat, birrul walidain? alamak susaaaaahh banget! Tapi saya pingin punya spesifikasi ibadah saya, Tan. Ya itu tadi mungkin, bikin orang-orang senyum... dan itu alasan saya ada di sini. Saya pingin ngelengkapin ibadah saya dengan ngebantu orang-orang lewat lembaga ini, mungkin itu yang saya bisa lakuin. Sesuatu yang bisa jadi tabungan kebaikan saya di akhirat nanti."

***

Kalau dilihat dari rentangan waktu, 2003 sampai 2012, sudah sembilan tahun saya bergelut dengan dunia sosial ini, dengan aktivitas sebagai relawan. Andaikan saya memahami dari awal bahwa ini juga adalah dakwah, ini juga jalan saya mengenali Allah lebih dekat, mungkin bangunan impian saya sudah jelas sejak saat itu.
Selama ini saya hanya pahami, saya harus bisa mendatangkan manfaat, berbuat kebajikan sebanyak mungkin bagi orang-orang di sekitar. Saya harus memberi informasi agar tidak banyak remaja yang terjerumus narkoba, mendengar kisah-kisah mereka yang tak mudah lantas memberi kepercayaan bahwa mereka bisa melewati setiap permasalahan yang ada. Saya hanya merasa saya memiliki kewajiban untuk itu, untuk menemani remaja-remaja, orang-orang yang termaginalkan.
Seandinya saya mengetahui bahwa apa yang selama ini saya lakukan adalah juga bentuk dakwah, maka saya harap saya bisa melakukan hal ini terus, menghujamkannya sebagai impian luhur saya sepanjang hidup.

Iya, ia benar-benar mengobrak-abrik bangungan impian saya, lantas membantu saya membangunnya kembali, dan membantu saya memahami, ana tadzhabu 'alallaah.



selepas obrolan panjang bersama Fika Kartika.
13 Februari 2012

Comments

Popular posts from this blog

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Ed dan Erupsi Kelud

Indramayu dan Potensi Kebaikan