Begini Ia Mengajari Saya
Sungguh, justru indah saat melihat pemandangan itu!
Ketika tiba pagi tadi di kantor, Ibu Dwi mengajak untuk ta'ziah ke rumah Ibu Dine. Rupanya, ayahanda dari Ibu Dine wafat pagi tadi. Jadilah pagi ini, Ibu Dwi, Teh Fika, Teh Ani, dan saya pergi menuju rumah duka sementara Hanif ditugasi menjaga kantor.
Dari pinggir jalan setelah perempatan Moh. Toha, sudah terlihat lambaian bendera kuning, di situlah lokasi rumah duka yang kami tuju. Suasana rumah duka cukup ramai, beberapa bapak duduk di halaman rumah yang berada dalam gang tersebut, beberapa ibu juga turut duduk di sana, sementara yang lalin berdiri di sekitar rumah. Memasuki rumah tempat Ibu Dine dibesarkan, tidak tampak keberadaan Ibu Dine, suaminya, maupun terdengar celotehan Zahra atau Nafis. Kami harus mengelus dada ketika mendapati kabar dari ibunda Ibu Dine kalau Ibu Dine sekarang sedang di rumah sakit, Nafis rupanya sakit tadi pagi dan langsung dilarikan ke rumah sakit. jadi setelah mendoakan almarhum ayahanda Ibu Dine, kami berempat menuju Sartika Asih tempat Nafis dirawat.
Ibu Dine sedang menyusui Nafis ketika kami datang, sendirian ia menemani Nafis. Matanya sembab, mungkin karena semalaman menunggui ayahandanya atau karena sudah terlalu lama menangis, saya terka. Namun, ketika melihat kami datang, senyum itu mengembang indah di bibir Ibu Dine.
"Nafis... itu Uwa sama Amah dateng, Nak..." Nafis menggeliat, tangannya diinfus, ada bercak darah di selangnya, karena Nafis banyak bergerak mungkin.
Nafis tiba-tiba menangis, menggerak-gerakkan tangannya. Lama-kelamaan tangisnya makin menjadi. Ibu Dine berdiri menggendong Nafis, diayun-ayunkannya Nafis dalam buaian, namun ia tetap menangis.
"MasyaAllah, selangnya lepas..." kami semua panik dan memanggil suster. Sepintas, saya tangkap wajah Ibu Dine pias, terlalu khawatir tampaknya. Tangan Nafis berdarah dan ia tak kunjung berhenti menangis. Kami menyingkir dari ruangan Nafis, agar suster leluasa membenahi selang infus Nafis.
Dari luar, tangis Nafis masih terdengar. Tangis anak berusia empatbelas bulan.
Tuhan... rasanya saya ingin ikut menangis karena mendengar suara tangis itu!
***
Ada ha-hal yang menakjubkan dari dunia ini, di antara hal-hal menakjubkan itu bagi saya adalah sesosok makhluk yang kita sebut sebagai ibu. Di antara hal-hal menakjubkan itu bagi saya adalah ketika melihat segurat senyum di hamparan ujian. Dan kedua hal itu saya temui sekaligus hari ini.
Kehilangan orang yang membesarkan kita itu perih, sangat. Dan melihat orang yang lahir dari rahim kita tengah menderita karena rasa sakit yang luar biasa, mungkin itu lebih memilukan hati. Tapi Ibu Dine, ia masih menyisipkan senyum di sana, ketika ia tak bisa melihat ayahandanya dimakamkan, ketika ia harus melihat putranya meraung-raung kesakitan, ia masih menyisipkan sebuah senyum di sana. Dan bagi saya itu adalah hal terindah yang Allah tampakkan bagi saya, hal terindah yang mengajarkan saya makna: keikhlasan dan kesabaran.
sore ini hujan. Allah menitipkan satu cerita untuk saya bagi.
9 Februari 2012
Ketika tiba pagi tadi di kantor, Ibu Dwi mengajak untuk ta'ziah ke rumah Ibu Dine. Rupanya, ayahanda dari Ibu Dine wafat pagi tadi. Jadilah pagi ini, Ibu Dwi, Teh Fika, Teh Ani, dan saya pergi menuju rumah duka sementara Hanif ditugasi menjaga kantor.
Dari pinggir jalan setelah perempatan Moh. Toha, sudah terlihat lambaian bendera kuning, di situlah lokasi rumah duka yang kami tuju. Suasana rumah duka cukup ramai, beberapa bapak duduk di halaman rumah yang berada dalam gang tersebut, beberapa ibu juga turut duduk di sana, sementara yang lalin berdiri di sekitar rumah. Memasuki rumah tempat Ibu Dine dibesarkan, tidak tampak keberadaan Ibu Dine, suaminya, maupun terdengar celotehan Zahra atau Nafis. Kami harus mengelus dada ketika mendapati kabar dari ibunda Ibu Dine kalau Ibu Dine sekarang sedang di rumah sakit, Nafis rupanya sakit tadi pagi dan langsung dilarikan ke rumah sakit. jadi setelah mendoakan almarhum ayahanda Ibu Dine, kami berempat menuju Sartika Asih tempat Nafis dirawat.
Ibu Dine sedang menyusui Nafis ketika kami datang, sendirian ia menemani Nafis. Matanya sembab, mungkin karena semalaman menunggui ayahandanya atau karena sudah terlalu lama menangis, saya terka. Namun, ketika melihat kami datang, senyum itu mengembang indah di bibir Ibu Dine.
"Nafis... itu Uwa sama Amah dateng, Nak..." Nafis menggeliat, tangannya diinfus, ada bercak darah di selangnya, karena Nafis banyak bergerak mungkin.
Nafis tiba-tiba menangis, menggerak-gerakkan tangannya. Lama-kelamaan tangisnya makin menjadi. Ibu Dine berdiri menggendong Nafis, diayun-ayunkannya Nafis dalam buaian, namun ia tetap menangis.
"MasyaAllah, selangnya lepas..." kami semua panik dan memanggil suster. Sepintas, saya tangkap wajah Ibu Dine pias, terlalu khawatir tampaknya. Tangan Nafis berdarah dan ia tak kunjung berhenti menangis. Kami menyingkir dari ruangan Nafis, agar suster leluasa membenahi selang infus Nafis.
Dari luar, tangis Nafis masih terdengar. Tangis anak berusia empatbelas bulan.
Tuhan... rasanya saya ingin ikut menangis karena mendengar suara tangis itu!
***
Ada ha-hal yang menakjubkan dari dunia ini, di antara hal-hal menakjubkan itu bagi saya adalah sesosok makhluk yang kita sebut sebagai ibu. Di antara hal-hal menakjubkan itu bagi saya adalah ketika melihat segurat senyum di hamparan ujian. Dan kedua hal itu saya temui sekaligus hari ini.
Kehilangan orang yang membesarkan kita itu perih, sangat. Dan melihat orang yang lahir dari rahim kita tengah menderita karena rasa sakit yang luar biasa, mungkin itu lebih memilukan hati. Tapi Ibu Dine, ia masih menyisipkan senyum di sana, ketika ia tak bisa melihat ayahandanya dimakamkan, ketika ia harus melihat putranya meraung-raung kesakitan, ia masih menyisipkan sebuah senyum di sana. Dan bagi saya itu adalah hal terindah yang Allah tampakkan bagi saya, hal terindah yang mengajarkan saya makna: keikhlasan dan kesabaran.
sore ini hujan. Allah menitipkan satu cerita untuk saya bagi.
9 Februari 2012
Comments