Ada hal-hal yang sulit kita pahami: mengapa seseorang memilih manggis dibanding mangga? mengapa orang memilih berbelok, sementara yang lain berjalan lurus ke depan?
Jalan hidup. Bagi setiap memang berbeda arahnya. Saya mungkin ke utara, sementara kamu ke selatan, atau justru menuju barat, mungkin juga ke timur. Dan bukan kita yang mengatur. Itu yang ingin saya sampaikan pertama kali.
Pagi ini, saya mendapati seorang kawan yang menulis status pada akun jejaring sosialnya. Saya lebih senang menyebutnya Satria, karena mungkin kini saya memandang ia sebagai seorang ksatria. Bukan untuk siapa-siapa, namun untuk kebaikannya sendiri. Satria, dalam jejaring sosialnya itu menulis seperti ini,
Kalo saya ga tinggal dirumah, siapa yg bakal bantuin mamah di rumah????? Ini yang mengganggu pikiran saya!!
Saya mengenalnya saat berseragam putih-abu, dipertemukan dalam satu sekolah. Ia masuk ke kelas berjuluk kelas standar internasional. Dahulu, saya mengira ia sama seperti siswa-siswa lain di sekolah ini yang notabene dibanjiri oleh anak-anak para pejabat pemerintah kabupaten. Ia cool, kadang justru tampak nyeleneh, suka blak-blakan apa adanya kalau bicara. Sampai ketika kami naik ke kelas dua, ia tidak lagi menempati kursinya di kelas. Ia memutuskan untuk pindah ke kelas 'biasa', tak lagi menjadi anak di kelas eksklusif. Ia mundur atas keinginannya sendiri. Apa alasannya? Ia bilang ia tidak cocok ada di kelas tersebut, ia bilang terlalu mahal biayanya. Saat itu saya berpikir, mana mungkin seorang Satria mundur dari kelas bergengsi itu dengan hanya alasan biaya yang terlalu mahal! Saya yakin kalau keluarganya sanggup membiayai sekolahnya (karena saya beranggapan ia juga anak pejabat). Pasti ada hal yang lebih mendasar daripada itu! Namun, itulah hal yang membuat saya simpati : di usianya yang belum dewasa, ia telah berani menentukan pilihan hidupnya sendiri, tak seperti teman-teman lain yang masuk kelas eksklusif itu lantaran gengsi padahal kemampuan otaknya juga tidak superior.
Tahunpun berlalu. Saya sudah kelas tiga, demikian juga Satria. Saya tak pernah mendengarnya berceloteh tentang cita-cita. Setidaknya, saat itu, hampir seisi sekolah rajin mengikuti try out di mana-mana, rajin juga mengikuti ujian masuk PTN ini-itu, juga ikut bimbel sana-sini. Setidaknya, ada sisi kesamaan di antara saya dan Satria : kami memilih melakukannya sendiri, berusaha semampu kami mengadapi ujian. Namun, saya tetap menjaga uluran benang layang-layang impian saya : saya akan kuliah, di salah satu PTN di negeri ini. Sementara Satria? Saya tak pernah mendengarnya menyebutkan akan kuliah, mungkin juga karena kami memang bukan teman dekat saat itu.
Saat saya mulai mejalani kehidupan sebagai mahasiswa, saya mendengar kabar kalau ia tidak melanjutkan pendidikannya. Satu hal yang sangat mengejutkan bagi saya! Setidaknya, mengejutkan karena dulu ia dikenal di seantero sekolah, anak OSIS, anak SMP unggulan dulunya, prestasi akademikpun tidak jelek-jelek amat, dan dia orang kaya. Lalu kenapa? Sementara hampir satu sekolah melanjutkan pendidikannya baik di PTN maupun PTS, di dalam maupun luar kota. Saya harus mengerutkan kening ketika mengetahui bahwa Satria menjadi penjaga perpustakaan di sekolah menengah pertamanya dulu.
Saya tak henti geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Januari kemarin kami bertemu. Ia memang tak segagah dulu, kurus barangkali. Matanya menyiratkan kelelahan, saya sendiri tidak tahu apa yang dikerjakannya sekarang. Namun saat itu saya mulai mengeja, ada sesuatu yang tidak begitu baik dengan kondisi Satria.
Satria sedang galau. Satria tidak seperti bayangan saya dulu. Ia ternyata memang seorang satria, yang sedang berkorban untuk keluarga. Ia menyingkir dari kelas eksklusif karena ia ingin meringankan beban orangtuanya. Ia tidak berkuliah (yang sebenarnya sangat ia impikan) karena ia telah menghitung, berapa rupiah yang harus ayah-ibunya keluarkan seandainya ia kuliah. Maka ia memutuskan untuk bekerja, yang mungkin harus ia jalani dengan menahan-nahan rasa gengsi. Tidak, rasa gengsi memang telah dibuangnya jauh-jauh sejak dulu.
Saat ini ia sedang galau. Kita dapat menghitung berapa penghasilan dari seorang penjaga perpustakaan sekolah. Sementara itu, ayahnya akan segera pensiun dan ia memiliki adik yang masih SMP. Ia sedang galau, antara mencari penghidupan yang lebih baik di luar kota atau tetap di sini, di tempat kelahirannya mengadu nasib sembari menjagai kedua orangtuanya yang beranjak tua. Ia sedang galau, bagaimana ia 'menjual' ijazah SMAnya? Bagaimana ia memulai usaha sementara ia tak memiliki apa-apa?
Saya pada akhirnya memahami pilihan-pilihannya dulu. Dan bagi saya, dia adalah Satria.
Ada hal-hal yang sulit kita pahami: mengapa seseorang memilih manggis
dibanding mangga? mengapa orang memilih berbelok, sementara yang lain
berjalan lurus ke depan?
Setiap orang berhak memilih, jalan seperti apa yang ingin ia jalani. Dan alasan seseorang dalam memilih, bukan menjadi hak kita untuk memaksa.
17 Februari 2012
 |
google.com |
Comments