Sepotong Cinta untuk Semua
Masuk wish list
Sepekan
lalu, saya menemukan pariwara dari laman internet yang sedang saya akses. Sebuah film baru
sedang digadang-gadang akan diputar di bioskop pada tanggal 13 Juni. Melihat
judulnya, saya kurang begitu tertarik. Sangat biasa : Cinta dari Wamena. Saya pikir paling hanya cerita roman biasa.
Namun, kata Wamena cukup menyita
perhatian saya juga. Gila! Pasti proses pembuatannya berlangsung di Wamena,
sebuah kota nun jauh di bumi Papua sana. Dan, hasrat saya mengatakan,
sepertinya film ini bisa masuk ke wish
list film yang akan saya tonton. Bagaimana tidak? Salah satu daerah yang
ingin saya singgahi adalah Papua, sudah saya tandai sejak setahun lalu di peta
besar yang menempel di dinding kamar saya. Jadi, menonton film ini bisa
jadi jalan untuk mem-visualisasi destinasi perjalanan saya suatu hari kelak.
Saya pun membuka mesin pencari, agak kepo juga dengan kisah yang ditawarkan
oleh film yang menempatkan Nicholas Saputra sebagai pemain pendukung itu. Ternyata
pas, film itu ada kaitannya dengan
isu HIV-AIDS. Nah, ini tema yang tak
bosan saya simak! Jadi, sudah ada setidaknya dua alasan mengapa akhirnya
saya memutuskan menonton film ini, meski sendiri.
Bandung mendung. Sudahlah, sudah kepalang tanggung,
lagian saya sudah membawa payung, jadi saya terus melangkahkan kaki menuju
bioskop, menonton film itu secara langsung. *ini
serius maksa bikin akhiran –ng*
Bioskop ramai meski hari kerja, mungkin karena Cinta dari Wamena premier hari ini.
Begitu yang terlintas ketika memasuki lobby
bioskop. Saya sudah siap memesan tiket, ketika melihat layar monitor datar
di atas meja lobby yang panjang itu,
hanya lima kursi yang telah terisi. Sisanya? Kosong. Dugaan saya ternyata
kurang tepat. Meski premier, tak semua film mendapat sambutan hangat, yang dapat terlihat
dari jumlah penonton yang menonton. Di dalam studio, suasananya sepi sekali.
Baru saya dan satu orang yang duduk jauh di depan saya yang telah hadir. Sisanya
baru masuk beberapa menit sebelum film benar-benar ditayangkan. Saya
menghitung, ada sekitar tujuh orang, ditambah satu crew yang juga turut menonton. Meski sepi, saya tidak terlalu
khawatir seperti kekhawatiran saya ketika melihat sebuah warung kecil yang
minim pembeli. Secara, tentu meski
hari ini sepi, namun pemilik modal masih bisa menggoyang-goyangkan kaki dan
bersantai ria.
Persahabatan, cinta, dan luka itu
Mari beralih ke Cinta dari Wamena! Lampu studio
sudah dimatikan. Gambar-gambar di layar besar itu sudah bergerak silih
berganti. Suara-suara bermunculan. Kisahnya bermula dengan pertemuan dua
pemuda, Daniel (Nicholas Saputra), seorang musisi Ibu Kota yang tengah galau mencipta lagu, dengan Litius (Maximus
Itlay), seorang pemuda dari Wamena yang mendapat kesempatan belajar di Jakarta.
Ditampilkan Daniel yang sedang galau tiba-tiba
dibuat terkesima oleh suara dan permainan gitar Litius, yang membawa mereka
menjadi partner. Daniel mulai
mengenal Litius melalui cerita-ceritanya.
Ya, Litius berasal dari sebuah desa kecil di
Papua. Bersama dua sahabatnya, Tembi dan Martha, Litius menempuh pendidikan
dasar dan menengah pertama di desanya, yang jarang dihadiri oleh guru mereka. Merekapun
lulus SMP tanpa bisa membaca.
Kembalinya Anthoni, seorang pekerja bandara ke
kampung mereka, membangkitkan semangat ketiga sahabat ini untuk menempuh
pendidikan yang lebih baik dan gratis di Wamena. Tembi hendak menjadi tentara.
Martha kepincut menjadi pramugari.
Sementara Litius ingin menjadi pemain bola. Maka mereka bertiga pergi menuju
Wamena.
Di Wamena, Martha kemudian bekerja sebagai
pembantu rumah tangga sembari melanjutkan sekolah, sementara Litius dan Tembi
menjadi penarik becak di waktu luangnya sepulang sekolah. Ketidakmampuan mereka
membaca tidak mennyurutkan cita-cita mereka bertiga.
Seiring berjalannya waktu, Litius jatuh hati pada
Endah (Amyra Jessica), teman satu kelasnya. Persahabatan di antara mereka mulai
terjalin semenjak Litius menjadi becak langganan Endah, yang menyambi menjadi
pramusaji di sebuah rumah makan, selain bersekolah. Endah memiliki cita-cita
menyusul adiknya ke Jakarta, dan karenanya ia tengah mengumpulkan uang untuk
cita-citanya tersebut. Tembi juga mulai menemukan teman-teman baru, hanya saja
kehidupan Tembi dipenuhi obat-obat terlarang dan perempuan. Sementara itu,
Martha merasa hampa karena menganggap kedua sahabatnya telah berubah.
Menginjak kelas tiga, Tembi sudah tak lagi
sekolah. Ia mulai sakit-sakitan. Badannya kurus dan batuknya tidak kunjung
sembuh, bahkan sampai mengeluarkan darah. Litius mulai bisa membaca dan ditawari
gurunya untuk ikut ujian agar bisa kuliah di Jakarta. Martha masih bersemangat
ingin jadi pramugari, ditambah Endah memberikannya buku mengenai tes untuk
menjadi pramugari.
Singkat cerita, Tembi dinyatakan positif HIV dan
TBC. Tembi merasa dirinya tidak lagi berguna karena penyakit yang dianggapnya
sebagai kutukan tersebut. Litius dengan sabarnya merawat Tembi dan memantau
waktu-waktu di mana Tembi harus minum obat, yang pada kenyataannya obat-obatan
tersebut dibuang oleh Tembi. Litius menghadapi kesedihan baru, ketika Anthoni
mengatakan Endah, gadis yang disukainya, bukanlah gadis baik-baik.
Ya, dalam cerita tersebut, Endah akhirnya divonis
positif HIV. Endah yang down, tak
lagi masuk sekolah. Litius batal mengikuti ujian. Hingga suatu hari, Endah
terbang ke Jakarta. Litius mendapat kesempatan mengikuti ujian susulan.
Litius dalam cerita tersebut sangat mencintai
Tembi dan Endah. Tembi mulai tumbuh kepercayaan dirinya lewat kata-kata yang
Litius sampaikan, sementara Endah –yang sebenarnya juga mencintai Litius- harus
memilih selamanya hanya menjadi sahabat Litius, karena khawatir akan menularkan
HIV kepada Litius. Dan Martha, kembali menemukan sahabat-sahabatnya.
Litius berhasil mendapat tiket bersekolah di
Jakarta. Ia bertemu Daniel yang terpikat oleh suara, permainan gitar, dan lagu
ciptaan Litius yang ditulisnya untuk Tembi dan Endah. Mereka berkolaborasi, dan
kemudian melalui musik, berkampanye untuk mendukung orang dengan HIV-AIDS
(ODHA).
Kita sama, apa yang berbeda?
Terlepas dari beberapa kekurangan film ini yang bagi
saya sempat menggangguan dan berbeda dengan apa yang saya yakini, overall, untuk yang membutuhkan
informasi mengenai HIV-AIDS dengan metode yang menarik, film ini bisa jadi
rujukan. Film Cinta dari Wamena menjadi
media KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang nyaman dan mudah ditangkap
oleh kita. Bagaimanapun, menurut saya, masyarakat kita masih lebih senang
menonton, dibanding membaca, jadi, gagasan untuk berkampanye anti stigma
melalui film patut diapresiasi dan diacungi jempol.
Mengapa harus Wamena? Menurut data dari Yayasan
Spiritia, Papua masih bertengger di tangga teratas kasus HIV-AIDS (http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1). Sementara itu dalam
pemberitaan yang dilansir dari www.tanahpapua.com
, Wamena menjadi salah satu kota teratas dengan kasus HIV-AIDS tertinggi di
Papua, setelah Kota Jayapura. Jadi memang, tak salah mengambil Wamena sebagai setting film. Dengan trend penularan
yang ada sekarang, kasus penularan HIV-AIDS tertinggi tidak lagi penggunaan
obat-obat terlarang melalui jarum suntik bergantian, namun lebih ke penetrasi
heteroseksual. Melalui film ini, kita coba disadarkan bahwa trend seperti ini
sudah dilakukan bahkan oleh remaja kita. Hm, berarti kita punya pekerjaan rumah
yang cukup besar ya, melihat piramida penduduk kita masih menempatkan kaum muda
berada di dasar piramida dibandingkan orangtuanya.
Kemudian permasalahan stigma. Ini sebenarnya
cerita lama, namun tentu belum semua orang memahaminya juga. Tidak sedikit
orang masih menganggap ODHA sebagai sumber masalah, oleh karenanya harus
dijauhi. Oke, saya sepakat mungkin banyak orang menjadi ODHA karena perilakunya
yang menurut kita keliru. Lalu apakah kita layak menghakimi? Mungkin memang
masa lalu mereka kurang baik, tapi bagaimana dengan masa kini dan masa depan
mereka? Bukankah masih ada kesempatan bagi mereka untuk jadi lebih baik?
Lalu bagaimana dengan ibu rumah tangga yang tak
pernah menjadi pengguna narkoba suntik (penasun) dan hanya setia pada
pasangannya saja, atau anak kecil, bayi-bayi itu, yang tanpa mereka tahu
tiba-tiba harus menerima kenyataan menjadi ODHA? Apakah kita juga patut
menghakimi, kalau itu semua akibat perilaku mereka?
Setidaknya, dalam film ini, kita dibuat berpikir
: bahwa kita juga punya arti bagi para ODHA, punya arti untuk membuat mereka
merasa lebih berarti.
Another ending
Jadi, kalau sempat, silakan tonton. Apakah saya
sedang promosi? Silakan menganggap seperti itu. Siapa tahu ada yang kangen
melihat penampilan Nicholas Saputra. Siapa tahu ada yang memimpikan Wamena
dalam tidur malamnya. Siapa tahu ada yang mau belajar...
#respect
Ditulis malam-malam
14 Juni 2013 M/ 6 Sya’ban 1434 H
Panjang juga >.<
![]() |
sumber: www.cintadariwamena.com |
Comments