Pesan Singkat, Pertemuan, dan Kamera
Tahu apa kita ini? Tidak, kita (betul-betul) tidak tahu apapun.
Siang menjelang sore yang cerah. Saya sedang duduk-duduk di Ruang Anak. Beberapa rekan sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang hilir mudik, ada yang menatap layar komputer. Hanya saya yang duduk-duduk, sembari melihat ke sana dan ke sini. Kebetulan saya sedang menggenggam ponsel. Jadi ketika Nokia itu bergetar, saya langsung dapat membaca pesan yang tertera di layarnya. Dari seorang kawan yang lama tak berjumpa.
Assalamu'alaikum wr.wb.
Intan... aku punya hutang nggak ke Intan? Tolong ya Intan, kasih tahu berapa hutang saya ke Intan...
Kurang lebih begitu bunyi pesan yang saya baca. Tahukah engkau apa maksudnya? Sudah hampir 4 bulan kami tidak bertemu. Dan sepanjang saya mengenalnya, dia tidak pernah meminjam atau berhutang apa-apa pada saya. Hutang janji? Tidak. Hutang uangpun sama sekali tak pernah. Jadi, saya balas saja sms dia dengan jujur dan tidak dibuat-buat (eh?).
Wa'alaikumussalaam wr.wb.
Nggak kok... kamu nggak punya hutang apa-apa...
Tapi lalu pikiran saya dibuat berkelana jauh, rumit, bahkan ke tempat-tempat yang jauh dari pengetahuan saya. Jangan-jangan..... Tidak, tidak... Saya menggeleng mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran aneh itu.
Hei, hei... Kita ketemuan yuk!
Sepotong pesan saya tujukan padanya, berusaha memastikan kalau-kalau saya sudah berpikir terlalu jauh.
--------
Sore yang agak berawan. Saya terburu-buru meraih ransel tanpa membawa serta buku yang sejak pagi tadi saya baca. Saya terlambat. Sudah beberapa pesan masuk, menanyakan di mana posisi saya. Jalan Tamansari sudah tak bisa diandalkan untuk para pengemudi angkot memacu kendaraannya dengan gesit. Macet. Macet. Pukul 16.40 saya baru sampai Masjid Salman. Mereka sudah menunggu di Black Romantic. Dua menit lagi saya akan mendengar tawa mereka lagi.
Sudah ada mereka bertiga di salah satu pojok Black Romantic, sedang tertawa. Dia sehat-sehat saja, kawan yang mengirim pesan waktu itu sehat-sehat saja, kalaupun terlihat agak kurus, tapi mukanya bercahaya- sama seperti terakhir saya bertemu denganya. Iya, dia memang sedang sakit, agak parah juga jenis sakitnya, tapi menurut dia, saat ini sudah tidak apa-apa.
Saya mengambil tempat di sampingnya, dia langsung menggoda, seperti biasa. Perempuan yang satu ini selalu begitu. Bersemangat, suka bergurau, meski tidak ceplas ceplos.
Pernahkah berpikir kalau orang yang kini ada di sebelah kita, sebentar lagi akan dijemput dan pergi sangat jauh?
---------
Adzan Maghrib hampir berkumandang. Taman Ganesha berangsur sepi. Rimbun pepohonan menimbulkan kesan suram, padahal pertemuan sore itu sungguh indah. Tanpa dikomandoi, tiga orang dari kami kompak membawa kamera. Termasuk dia. Kami memotret dari kamera-kamera yang kami bawa. Bergantian, karena tak ada yang bisa dimintai tolong untuk memotret kami berempat. Shutter kamera dipijit berkali-kali sebelum kami beranjak ke masjid. Tampaknya, kami sedang berlomba mengabadikan kenangan, yang kelak akan kami buka kembali dan dinikmati satu persatu dari album foto.
Mengabadikan kenangan. Entah untuk alasan apa. Karena akan ada yang pergi? Kelak, entah kapan itu, salah satu dari kami pasti pergi.
---------
Entah siapa yang akan pergi. Dan saya sungguh tidak tahu. Dan pertanda, sesungguhnya ia tak bisa langsung terbaca.
5 Juni 2013 / 25 Rajab 1434 H
Selepas kembali dari Salman.
Comments