5, 10, 15 Menit
Sepenggal kalimat yang masih tak bermakna itu sekelebat muncul saat saya tiba di ujung Jalan Gegerkalong Girang pagi tadi.
lima. sepuluh. limabelas. Menit.
Membalas sebuah pesan singkat mungkin tak akan memakan waktu sampai lima menit. Atau kalau sedang sibuk-sibuknya, sebuah pesan singkat yang datang, terbaca, melanjutkan pekerjaan, beberapa menit kemudian menyempatkan membalas. Atau, sebuah pesan singkat yang datang, terbaca, dipikirkan, beberapa menit kemudian menemukan kata untuk membalas. Kadang hanya lima menit, bisa jadi sepuluh menit, dan bahkan limabelas menit atau bahkan lebih, waktu yang diperlukan untuk membalas sebuah pesan singkat.
Sebuah pertemuan, bisa jadi tak berlangsung hingga lima menit. Kadang kata "hai" atau ucapan salam sudah cukup untuk memenuhi etika sosial ketika bertemu seorang kawan, atau melipat waktu yang tengah memburu. Mungkin beberapa ada yang berpura tak melihat, demi mengejar sang waktu.
=======
(cerpen)
Hari ini aku bertemu dengan Tari, seorang adik tingkat di bangku kuliah. Dia ada di sisi jalan yang berbeda denganku. Tentu pada awalnya, aku tidak melihat Tari, hingga gadis itu berteriak lantang, dan aku memutuskan menyeberang ke sisi jalan di mana ia tepat tengah berdiri dan melihat ke arahku. Dua menit saja, untuknya. Kupikir. Aku sedang terburu-buru.
"Hai, apa kabar?" kami saling bertanya kabar. Ia habis berolahraga, aku baru selesai bekerja. Lantas ia bercerita sebentar lagi akan melakukan kuliah pengabdian di sebuah kota, agak jauh dari Bandung. Ia bercerita tentang perjalanan malam harinya beberapa waktu lalu. Aku selalu suka anak ini. Ia suka bercerita. Sudah lima menit.
"Apa yang aku lakukan, kacau semua." begitu saja, ia sudah mengganti tema pembicaraan.
"Eh, tidak. Tidak. Kadang ketika seseorang sedang down semua yang dilakukan dianggapnya salah, tak ada yang benar. Hanya kekacauan. Padahal, sesekali dalam hidupnya, ia juga pernah merasakan jalanan mulus tanpa hambatan. Begitu, kan?" ia berkata lagi, sebelum aku sempat menjawab. Aku tersenyum, tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya.
Obrolan berselang-seling. aku bercerita tentang buku-buku. Ia bercerita tentang film. Kemudian aku bilang ada tiket murah ke Makassar. Ia bilang, jadikah kami ke Semeru. Aku tawarkan cakue dalam kantong plastik yang sejak tadi kubawa, ia bilang ia telah membeli nasi bungkus. Lima belas menit.
"Aku pasti mengganggu ya?" tanyanya. Aku menggeleng, tersenyum. Aku bisa apalagi, ketika sebuah tali mulai diikatkan kembali dengan kencang?
=======
lima. sepuluh. limabelas. Bermenit-menit, tak mengapa untuk tali itu, agar tetap tersimpul dengan erat.
>>
15 Juni 2013 / 6 Sya'ban 1434 Hijriyah
lima. sepuluh. limabelas. Menit.
Membalas sebuah pesan singkat mungkin tak akan memakan waktu sampai lima menit. Atau kalau sedang sibuk-sibuknya, sebuah pesan singkat yang datang, terbaca, melanjutkan pekerjaan, beberapa menit kemudian menyempatkan membalas. Atau, sebuah pesan singkat yang datang, terbaca, dipikirkan, beberapa menit kemudian menemukan kata untuk membalas. Kadang hanya lima menit, bisa jadi sepuluh menit, dan bahkan limabelas menit atau bahkan lebih, waktu yang diperlukan untuk membalas sebuah pesan singkat.
Sebuah pertemuan, bisa jadi tak berlangsung hingga lima menit. Kadang kata "hai" atau ucapan salam sudah cukup untuk memenuhi etika sosial ketika bertemu seorang kawan, atau melipat waktu yang tengah memburu. Mungkin beberapa ada yang berpura tak melihat, demi mengejar sang waktu.
=======
(cerpen)
Hari ini aku bertemu dengan Tari, seorang adik tingkat di bangku kuliah. Dia ada di sisi jalan yang berbeda denganku. Tentu pada awalnya, aku tidak melihat Tari, hingga gadis itu berteriak lantang, dan aku memutuskan menyeberang ke sisi jalan di mana ia tepat tengah berdiri dan melihat ke arahku. Dua menit saja, untuknya. Kupikir. Aku sedang terburu-buru.
"Hai, apa kabar?" kami saling bertanya kabar. Ia habis berolahraga, aku baru selesai bekerja. Lantas ia bercerita sebentar lagi akan melakukan kuliah pengabdian di sebuah kota, agak jauh dari Bandung. Ia bercerita tentang perjalanan malam harinya beberapa waktu lalu. Aku selalu suka anak ini. Ia suka bercerita. Sudah lima menit.
"Apa yang aku lakukan, kacau semua." begitu saja, ia sudah mengganti tema pembicaraan.
"Eh, tidak. Tidak. Kadang ketika seseorang sedang down semua yang dilakukan dianggapnya salah, tak ada yang benar. Hanya kekacauan. Padahal, sesekali dalam hidupnya, ia juga pernah merasakan jalanan mulus tanpa hambatan. Begitu, kan?" ia berkata lagi, sebelum aku sempat menjawab. Aku tersenyum, tak bisa menebak apa yang ada di kepalanya.
Obrolan berselang-seling. aku bercerita tentang buku-buku. Ia bercerita tentang film. Kemudian aku bilang ada tiket murah ke Makassar. Ia bilang, jadikah kami ke Semeru. Aku tawarkan cakue dalam kantong plastik yang sejak tadi kubawa, ia bilang ia telah membeli nasi bungkus. Lima belas menit.
"Aku pasti mengganggu ya?" tanyanya. Aku menggeleng, tersenyum. Aku bisa apalagi, ketika sebuah tali mulai diikatkan kembali dengan kencang?
=======
lima. sepuluh. limabelas. Bermenit-menit, tak mengapa untuk tali itu, agar tetap tersimpul dengan erat.
>>
15 Juni 2013 / 6 Sya'ban 1434 Hijriyah
Comments