Bandung #1 : Ngaprak Cikapundung
Well, tujuh tahun hidup di tanah dan dengan air bumi Priangan rasanya tak pantas kalau saya tak membuahkan satu tulisanpun tentang daerah yang konon semula merupakan danau purba ini. Dan meski beberapa tempat sudah dijelajahi, tapi saya tertarik untuk menulis tentang eco adventure dulu, sebuah kegiatan sosial yang diprakarsai gerakan Earth Hour Bandung (@EHBdg) hari Minggu (23/03) lalu untuk mengenalkan Sungai Cikapundung ke generasi muda. Menarik? Tentu saja!
No preparation. Satu-satunya persiapan saya hanyalah sandal crocs kuning, ransel dengan rupa-rupa isi (karena hendak mengerjakan tugas juga), kaos, sebotol air mineral dan dua potong odading hangat yang saya beli di Simpang Dago untuk menenangkan konser di perut.
Ketika angkot Kalapa-Dago menepi di depan Terminal Dago, saya mulai gentar seperti biasa ketika akan ikut kegiatan yang masih asing. Namun sapaan hangat dari seorang perempuan manis itu akhirnya membuat saya lumer. Oke, saya akan lanjutkan petualangan yang baru akan dimulai ini!
Diawali di PLTA Dago Bengkok, kegiatan eco adventure dengan judul Ngaprak Cikapundung ini dimulai. Saya kaget melihat peserta yang banyak sekali. Semuanya masih muda, setidaknya kalaupun terlihat agak berumur, tak jauhlah dari usia saya. Salut juga, gerakan EH Bandung ini bisa memobilisasi kaula muda ternyata! Di tempat inilah, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Saya masuk kelompok 3, bergabung dengan 3 orang teman baru dari Universitas Padjadjaran.
Ngaprak sambil bawa kantong buat sampah |
Petualangan dimulai dengan berkenalan dengan PLTA Dago Bengkok, salah satu tempat penting bagi penerangan kota Bandung dan sekitarnya. Ditemani seorang pendamping dari pantia, Senja namanya, kami kemudian menyusuri rute yang sudah dibuat panitia. Tidak nanggung-nanggung, kami melintasi rumah penduduk, menyusup semak, masuk ke hutan, keluar hutan, hampir terperosok, menyapa air terjun, menyusuri persawahan... Ah, tak terbayangkan akan begini. Kalau saja saya tahu medan yang akan ditempuh dalam Ngaprak Cikapundung ini, tentu saya lebih memilih memakai si Elang, sandal gunung saya! Tapi tak masalah lah, anggap saja tantangan.
Kami berhenti sejenak di PLTA Dago Pojok, dijelaskan tentang sejarah PLTA yang ternyata sudah ada sejak zaman Belanda dulu. Oh, my! Alat-alat di PLTA yang luasnya tak seberapa ini rupanya dijaga sedemikian baik meski kapasitas produksi listriknya sudah tak sebesar dulu. Tak jauh dari PLTA Dago Pojok, ada penampungan air PDAM yang memasok kebutuhan air warga Bandung. Di sini, air dari Sungai Cikapundung dialirkan menuju PDAM yang ada di Jalan Badak Singa, dekat ITB sana melalui pipa-pipa bawah tanah. Mantap!
Kami menyusuri persawahan lagi yang sistem pengairannya menggunakan terasering. Sudah akrab kan ya, istilah terasering di telinga kita? Tentu saja, karena kita belajar itu di sekolah dulu! Dan sistem pengairan tradisional ini sudah diakui oleh dunia, lho! Satu hal lagi yang patut kita banggakan sebagai warga Indonesia!
Pemukiman di tepian Cikapundung |
Ah, udara di Hutan Kota Babakan Siliwangi utuh menghapus lelah saya dan banyak teman lainnya. Perjalanan kami menyusuri Sungai Cikapundung berakhir. Sudah saatnya kembali ke rutinitas masing-masing. Tapi ada yang berbeda kali ini. EH Bandung membuat kami sadar untuk lebih bijak lagi memanfaatkan air, lebih lagi, untuk mencintai lingkungan. Dan, sayang rasanya kalau tak menyebarkan kebaikan ini pada lebih banyak orang. Ini aksiku, mana aksimu?
Noted : jangan lupa tanggal 29 Maret besok untuk ikut serta mematikan lampu dan alat elektronik ya! Satu jam saja cukup untuk hidup kita yang lebih baik! Informasi lebih lanjut bisa lihat di timeline Earth Hour daerah masing-masing. Untuk Bandung, cek di @EHBdg ya!
(Foto yang ditampilkan adalah dokumen pribadi)
Comments