Meet the Strangers

Dear all strangers, thank you for being so kind to me. I don't know where you are right now, but God always know. Since I can't pay anything, let God pay the rest.


Ada banyak sekali orang asing di sekitar kita. Beberapa di antaranya kemudian menjadi teman baik atau sahabat, beberapa lagi diizinkan Tuhan unuk tetap menjadi asing dan tidak dikenal.

Di perjalanan pulang dari kantor menuju kosan tadi, ada beberapa hal yang ingin saya tertawakan tentang episode crowded hari ini. Namun, episode-episode tentang pertemananlah yang tampaknya punya daya magnetis yang lebih besar dan menarik diri saya untuk memikirkannya dalam-dalam.

Well, kamukah orang asing yang saya temui di persimpangan hidup kemarin sore itu?

Sore tadi saya membaca tulisan salah seorang kawan. Sebutlah namanya Nurul. Saya memanggilnya Mbak Nurul. Belum hitungan tahun saya mengenalnya. Bertemu, mungkin baru tiga kali. Namun, entah ada kekuatan dari mana, saya merasakan ada kehangatan dari obrolan-obrolan yang ia sampaikan. Saya ingat, Mbak Nurul bahkan pernah bilang, ngeh dengan kebaradaan sayapun hanya saat event Krakatau Writing Camp Agustus kemarin, sementara pertemuan kami yang pertama seingat saya adalah saat kegiatan Te-We di Rumah Dunia Februari lalu. Sebagai orang yang sama-sama baru saling mengenal, saya takjub dengan cara Tuhan dalam menggerakkan hati-hati makhlukNya. Saya dan Mbak Nurul dipertemukan kembali di Rumah Dunia, kemudian berbincang bersama layaknya sepasang kawan karib. Ajaib.

Sebetulnya, ide untuk menulis tentang orang asing dan pertemanan ini sudah saya pikirkan lama, ketika saya menikmati sepiring singkong sambal roa hangat yang empuk disertai secangkir kopi Turki yang asam itu. Ide ini terpikir semenjak akhir Oktober lalu saat saya merasakan kebaikan seorang laki-laki asing yang menolong saya saat harus melintasi jalanan Sukabumi-Bogor di hari yang hampir mendekati tengah malam.

Masih juga membekas di ingatan ketika awal tahun lalu saya ditugaskan menghadiri pelatihan di Jakarta. Hutan Beton Jakarta menjadi sesuatu yang cukup menyeramkan bagi saya, meski sudah sering menginjakkan kaki di jalanannya. Selepas turun dari Argo Parahyangan lepas isya waktu itu, seorang perempuan berkerudung menyapa saya, tersenyum, kemudian menanyakan ke arah mana saya akan pergi. Dan tanpa diduga, ia menawari untuk bersama-sama mengendarai taksi. Tuhan, hal yang bodoh seandainya saya percaya begitu saja. Tapi itulah adanya, kami-sepasang orang asing- duduk bersisian di dalam taksi yang menembus malam di Ibu Kota.

Aih, seandainyapun ada kesempatan untuk sekedar mengenal nama, saya ingin menyebut nama laki-laki dan perempuan berkerudung itu dalam doa saya. Tapi, bahkan Tuhan punya solusi lain bagi saya untuk membalas kebaikan orang asing yang mungkin tak pernah saya temui lagi itu. Setiap kebaikan yang diantarkan untuk kita, mungkin harus dibalas dengan kebaikan yang lebih baik pada orang lain. Ya, mungkin, ketika kita tak bisa membalas kebaikan orang asing yang mungkin tak bisa kita temui lagi, kita hanya cukup membalas dengan melakukan kebaikan kepada orang lain, yang mungkin juga asing. Seperti pada film Pay it Forward itu.


Menyoal orang asing, maka teman-teman Krakatau Writing Camp juga dahulunya berstatus asing bagi saya. Hanya saja, Tuhan ingin kami saling mengenal kemudian berteman. Sampai di titik ini, saya bersyukur dan terus berharap kami dapat menjaganya sampai nanti. Entah sampai kapan. Namun jikapun tidak, setidaknya, biarlah apa yang kami jalani sekarang bisa saling memberi manfaat dan jadi episode yang nanti  bisa saya ceritakan ke anak-anak saya (tentu, saat ini anak-anak sayapun masih teramat samar dan asing bagi saya).

Mengisahkan orang asing, ada saja cerita yang membekas dan ditinggalkan. Suatu ketika, saat menikmati novel di sebuah warung kopi, dua orang asing menyapa saya dan kami bercerita. Menjelajah Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi hingga Kalimantan. Kami bercerita melintas usia dan wilayah. Kedua bapak orang asing yang tengah mengadakan perjalanan tugas di Bandung itu, rupanya dititah Tuhan untuk membantu saya memahami lagi diri saya. Sebegitu uniknya membincang tentang orang asing. Ah, tak pernah bosan rasanya memperlebar lingkaran pertemanan.

Dan, karena tak ada lagi yang terpikir untuk saya tulis, saya hanya ingin mengatakan. Tulisan ini sebetulnya saya buat untuk anak saya, agar ia bisa belajar sesuatu dari masa lalu ibunya. Saat ini, bahkan ia masih menjadi orang asing bagi saya. Tapi semoga saja tulisan ini bisa ia baca kelak, atau kalaupun tidak, setidaknya tulisan saya masih mungkin dibaca oleh kalian, yang tak sengaja melintas di blog saya kemudian iseng membaca tulisan ini. Bisa jadi kalian adalah orang yang saya kenal, atau kalaupun kalian adalah blog-walker asing yang tak sengaja menemukan blog ini, terima kasih sudah bermurah hati membaca tulisan saya. 

Ya, orang-orang asing. Banyak sekali jumlah mereka di dunia ini. Memang, tidak semuanya baik, tapi saya yakin jumlah yang baik pasti lebih banyak ketimbang yang tidak. Orang-orang asing itu, sengaja dikirim pada kita. Ada yang sekedar untuk menemani perjalanan dalam angkot, dengan obrolan yang sebatas basa-basi atau membunuh waktu yang kadang membosankan. Ada yang akhirnya menjadi teman, bahkan teman seumur hidup.

Dan ya, kamu yang sedang membaca ini! Ingat tidak kalau dulu kita tidak mengenal, saling asing satu sama lain? Tapi, terima kasih telah menemani saya hingga saat ini.

To all strangers, semoga suatu hari kita bisa berteman baik dan tak lagi menjadi asing. Jadi, kita bisa menikmati sepiring singkong sambal roa dan kopi Turki ini bersama-sama.



Random thinking. 

Photo by : kuswointan

Comments

Nurul Noe said…
Stranger, satu kata yang terdengar ngeri dan misterius. Namun, jika kita sudah terbiasa peka terhadap insticnt, kita pasti tau, kapan kita berada dlm posisi bahaya, dan kapan kita merasa nyaman meski bersama stanger. ;)
Unknown said…
lumayan, latihan nulis.

Popular posts from this blog

Yang Masih Anak-Anak, Yang Bijaksana [Catatan Perjalanan Krakatau : 4]

Trip to Have Fun with Kids

Indramayu dan Potensi Kebaikan