Jalan-Jalan Pagi, Teman, dan Secangkir Kopi Pahit
Jalan-Jalan Pagi
Pagi yang gempita. Aku melangkah keluar dari rumah kos-kosan Sofi, temanku. Semalam, lantaran pulang terlalu larut dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, aku memilih untuk menginap di kosannya di daerah Plesiran, Tamansari. Masih pukul 06.00 dan langit Bandung agak sedikit mendung, namun beberapa mahasiswa, dengan masih berbalut baju tidur sambil mengucek mata dan rambut yang belum disisir sudah keluar dari kamar kos masing-masing, bergegas menuju ibu penjual nasi kuning. Beberapa di antaranya berjalan tergopoh dengan ransel di punggung dan beberapa diktat kuliah. Ada ibu yang baru pulang dari pasar, ada juga bapak yang pergi mengantar anaknya sekolah. Aku sendiri memilih berjalan santai menuju kosanku di daerah Jalan Pajajaran.
Selepas rehat sejenak di Balubur dan mengisi perut dengan dua potong surabi oncom hangat, aku kembali berjalan menyusuri Jalan Tamansari, melewati kampus Universitas Islam Bandung, Sanbe, juga Universitas Pasundan, sebelum akhirnya menyeberangi Jalan Wastukancana, masuk ke sebuah gang kecil dan berjinjit memasuki rumah kosanku yang sebagian penghuninya masih terlelap.
Sebelum sirine dari pabrik obat yang letaknya tak jauh dari kosan-ku menyalak, aku sudah keluar dari kosan, kemudian menyusuri sisi Jalan Pajajaran. Pukul 07.20 saat itu. Matahari mulai tak malu menampakkan diri. Jalanan kian sibuk. Kuda-kuda besi saling berkejaran, menyelinap di antara hilir-mudik mobil. Pagi itu, aku akan menikmati pagi : berjalan menyusuri Pajajaran-Wastukancana, menyeberang rel kereta, kemudian mengagumi Braga, sebelum akhirnya menikmati sepotong Jalan Naripan dan berbelok ke Banceuy.
Aih, syahdunya pagi ini. Aku masih punya waktu satu setengah jam sebelum jam kantor dimulai. Di Braga yang baru saja tertidur, aku melayangkan harapan mencium wangi adonan roti yang dibakar dari toko roti tertua di Bandung, Sumber Hidangan. Beberapa hari sebelumnya aku sempat mampir dan membeli dua kerat roti sobek di sana. Rotinya sederhana namun lembut. Kupikir ketika aku menyusuri Braga pagi itu, aku bisa mampir sebentar dan membeli sekerat roti untuk pelengkap surabi yang kumakan tadi pagi. Namun sayang, toko yang sudah hadir di Bandung sejak tahun 1929 itu masih tutup, mungkin di dalamnya para pekerja sedang sibuk menguleni adonan. Jadi, aku melanjutkan perjalanan.
Beberapa meter sebelum berbelok ke Banceuy, terdapat satu bangunan dengan warna cat biru yang mencolok. Bangunan itu kecil berbentuk menara. Tak banyak yang tahu kalau dahulu bangunan tanpa nama itu adalah penjara Banceuy, tempat Bapak Proklamasi, Soekarno pernah ditahan. Akupun baru tahu setelah diajak berjalan-jalan oleh panitia workshop kepenulisan yang pernah aku ikuti beberapa bulan lalu, padahal aku cukup sering melewati jalan itu.
Ketika memasuki Banceuy yang ramai, aku senang sekali. Tandanya, perjalananku pagi ini akan berakhir dengan beberapa bungkus kopi yang bisa kubawa pulang. Tepat di pertigaan Jalan Banceuy, berdiri sebuah pabrik kopi tertua di Bandung, namanya Pabrik Kopi Aroma. Bagi yang belum pernah ke sana, cukup andalkan indera penciuman untuk menemukan pabrik ini, karena aroma kopi yang sedang disangrai biasanya sudah tercium beberapa meter sebelum kaki sampai tepat di depan pabrik. Pabrik ini sederhana, plang pabriknya masih serupa dengan jaman dahulu. Dari jendelanya, kita bisa melihat alat penggiling kopi dan biji-biji kopi. Petugas berseragam cokelat bergegas membuka toko beberapa menit setelah aku sampai. Dan, meski baru dibuka, pengunjung yang ingin membeli kopi sudah mengantre. Setelah aku dapat beberapa kopi yang dikemas dengan kemasan jadul, akupun bergegas. Matahari sudah naik. Aku harus mengantar beberapa bungkus untuk teman-temanku di radio.
Teman
Ketika melakukan perjalanan 'kecil' pagi itu, aku sempat live-tweet. Ternyata, beberapa teman merespon dan akhirnya menggoda agar dibelikan oleh-oleh roti atau kopi. Maka pagi itu, setelah mengantre kopi, kunaiki angkutan menuju Gegerkalong. Aih, rasanya ada yang menggelegak di hati ketika harus kembali menyisiri Jalan Gegerkalong Girang Baru. Hampir sebulan yang lalu, aku pamit pergi dari bangunan yang terletak di ujung jalan tersebut. Bapak Penjaga sedang berdiri di depan gerbang, melihatku lalu tersenyum.
"Kamana wae, Teh? Asa tos lami teu ningali!" sapanya. Rupanya belum banyak yang tahu kalau aku sudah tak lagi jadi bagian dari MQ FM.
"Di Bandung aja, Pak... Iya nih, saya kan udah berhenti..." kubalas senyumnya, kemudian ia kuajak masuk dan kutawari kopi. Sementara itu, di depan pintu masuk ke studio, seorang rekan sedang mengantre untuk mengambil air wudhu, bersiap shalat Dhuha. Ia juga menyapa dan menyuruhku masuk.
Di studio yang sempat kuakrabi beberapa bulan itu, kulihat Kang Ateng sibuk menekuri komputer, serius menjalani pekerjaannya sebagai operator. Teh Iha dengan headset nya, sedang mengudara. Kang Hidayat duduk di ruang tunggu, baru selesai shalat Dhuha. Sementara Kang Sigit dan Kang Arif tengah bercengkerama. Aku duduk dekat ruang operator. Setelah menyapa dan bertanya kabar, kuberikan sebungkus arabica ke Kang Ateng, kubilang untuk diminum bersama. Tak lama, bermunculan wajah-wajah yang kuakrabi. Teh Lilis menyalamiku. Kemudian Teh Leni muncul dari balik meja reporter. Dahulu, kami sama-sama berbagi tugas mencari dan membaca berita. Lingkaran kami membesar karena beberapa orang lainnya ikut bergabung. Sejujurnya, kalau boleh dibilang, aku bukan termasuk orang yang ekstrovert, bahkan dalam waktu 6 bulan di sana, aku hanya mengakrabi beberapa orang saja, namun hari itu, lingkaran pertemanan tiba-tiba jadi meluas dan banyak cerita yang akhirnya dapat kami bagi. Aih, bahagianya memiliki teman!
Di ujung kunjungan singkatku ke studio, aku menawarkan robusta kepada teman-temanku itu. Namun dengan syarat, dinikmatinya bersama-sama di Angkringan Mas Jo di Jalan gelap Nyawang, tempat nongkrong-ku. Dan aku bergegas pergi dari studio, karena sudah terlambat ke kantor.
Secangkir Kopi Pahit
Bandung sore itu dirundung hujan, tepat seperti apa yang diramalkan oleh BMKG lewat siaran radio Elshinta pagi itu. Tapi itu tak menyurutkanku untuk pergi ke angkringan. Aku sudah punya janji mengantar dua bungkus arabica dan robusta untuk Sofi, temanku. Juga, aku mengharap kedatangan teman-teman MQ ke angkringan, dan kami menikmati secangkir robusta bersama-sama.
Angkringan Mas Jo, yang terletak di Jalan Gelap Nyawang saat itu sepi. Belum banyak yang datang. Mungkin karena masih jam 17.30, masih terlalu sore untuk makan malam, atau mungkin mahasiswa-mahasiswa ITB masih sibuk di lab atau juga karena hujan sore itu. Biasanya, setiap pergi ke angkringan, aku duduk di depan gerobak saji, berhadapan langsung dengan Mas Agus yang jadi salah satu personel Angkringan Mas Jo. Kalau duduk di depan seperti itu, aku merasa seperti sedang di Jogja, tempat asal "makanan cepat saji" ini bermula. Lebih lagi, biasanya Mas Agus akan cerita, tentang dia yang orang Solo, tentang perjalanan mudiknya tempo hari, atau tentang dia yang sedang ngeceng cewek yang ditemui di kereta. Tapi sore itu, saya memilih duduk di salah satu meja, agak pojok, tapi tidak basah terkena cipratan air hujan. Sore itu aku dibersamai Teh Fika, rekan sekantorku di LSM. Setelah menaruh barang bawaan, Teh Fika menuju gerobak saji, memilih sate kerang kesukaannya, sate kulit dan beberapa gorengan.
Mas Agus mendekatiku, melirik barang bawaanku tepat ketika aku mengeluarkan sebungkus robusta dari Kopi Aroma.
"Ini buat Mas Agus sama temen-temen ya!"
"Dari mana, Mbak?" tanyanya.
"Oleh-oleh dari Bandung!" jawabku sekenanya.
"Wah... kopi ini mah kita juga punya, Mbak!" Mas Agus bergerak ke gerobak, mencari sesuatu. Kemudian mengeluarkan sebungkus Kopi Aroma.
"Nih!" tunjuknya dengan tawa. Aku ikut tertawa melihat apa yang ditunjukkan Mas Agus adalah robusta-nya Aroma.
"Yaaah... nggak seru dong! Ya udah, buat Mas Agus sama temen-temen di sini yang arabica aja deh. Nih!" Aku mengulurkan bungkusan lain.
"Tapi aku minta dibuatin secangkir yaa!" ujarku.
"Oke! Hoy itu buatin kopi buat Mbak Intan! Pake kopi yang ini!" ia menyuruh rekannya yang bertugas meracik minuman.
"Mau dicampur Kapal Api nggak Mbak?" ia bertanya lagi padaku.
"Lho? Kenapa dicampur?"
"Di sini gitu Mbak... biar enak, mantep rasanya!" ia berseloroh.
"Nggak deh, nggak usah dicampur. Gulanya dikiiiit aja ya!"
Angkringan Mas Jo, yang terletak di Jalan Gelap Nyawang saat itu sepi. Belum banyak yang datang. Mungkin karena masih jam 17.30, masih terlalu sore untuk makan malam, atau mungkin mahasiswa-mahasiswa ITB masih sibuk di lab atau juga karena hujan sore itu. Biasanya, setiap pergi ke angkringan, aku duduk di depan gerobak saji, berhadapan langsung dengan Mas Agus yang jadi salah satu personel Angkringan Mas Jo. Kalau duduk di depan seperti itu, aku merasa seperti sedang di Jogja, tempat asal "makanan cepat saji" ini bermula. Lebih lagi, biasanya Mas Agus akan cerita, tentang dia yang orang Solo, tentang perjalanan mudiknya tempo hari, atau tentang dia yang sedang ngeceng cewek yang ditemui di kereta. Tapi sore itu, saya memilih duduk di salah satu meja, agak pojok, tapi tidak basah terkena cipratan air hujan. Sore itu aku dibersamai Teh Fika, rekan sekantorku di LSM. Setelah menaruh barang bawaan, Teh Fika menuju gerobak saji, memilih sate kerang kesukaannya, sate kulit dan beberapa gorengan.
Mas Agus mendekatiku, melirik barang bawaanku tepat ketika aku mengeluarkan sebungkus robusta dari Kopi Aroma.
"Ini buat Mas Agus sama temen-temen ya!"
"Dari mana, Mbak?" tanyanya.
"Oleh-oleh dari Bandung!" jawabku sekenanya.
"Wah... kopi ini mah kita juga punya, Mbak!" Mas Agus bergerak ke gerobak, mencari sesuatu. Kemudian mengeluarkan sebungkus Kopi Aroma.
"Nih!" tunjuknya dengan tawa. Aku ikut tertawa melihat apa yang ditunjukkan Mas Agus adalah robusta-nya Aroma.
"Yaaah... nggak seru dong! Ya udah, buat Mas Agus sama temen-temen di sini yang arabica aja deh. Nih!" Aku mengulurkan bungkusan lain.
"Tapi aku minta dibuatin secangkir yaa!" ujarku.
"Oke! Hoy itu buatin kopi buat Mbak Intan! Pake kopi yang ini!" ia menyuruh rekannya yang bertugas meracik minuman.
"Mau dicampur Kapal Api nggak Mbak?" ia bertanya lagi padaku.
"Lho? Kenapa dicampur?"
"Di sini gitu Mbak... biar enak, mantep rasanya!" ia berseloroh.
"Nggak deh, nggak usah dicampur. Gulanya dikiiiit aja ya!"
Langit makin gelap, hujan masih turun. Aku menyeruput sisa kopiku : kental dan hangat, pahit ketika menyentuh lidah. Temanku Sofi sakit, jadi tak bisa menikmati kopi bersama. Teman-teman MQ juga masih sibuk di kantor, mungkin agak sungkan pergi karena hujan begini. Teh Fika tak mau dibuatkan kopi. Teh Nun datang mendekati Maghrib, kemudian mengambil makanan. Kami makan sambil mengobrol kasus-kasus baru yang dihadapi di kantor, tentang tugas luar kota-nya Teh Nun hari itu, tertawa. Maghrib telah lewat. Kami menemui Mas Agus lagi, hendak membayar makan malam kami hari itu.
"Berapa Mas? Aku tadi ambil nasi 2, sate ampela 1, sate usus 1, gorengan 2... sama kopi. Berapa?"
"Berapa ya? 10 ribu aja deh!" ia menjawab sekenanya. Giliran Teh Fika laporan.
"Aku nasi 2, sate ati 1, sate kulit 2, sate kerang 2, gorengan 1. Berapa?"
"Jadi 17.500. Eh, 15 ribu aja deh!" Mas Agus tersenyum. Teh Nun juga membayar 10 ribu. Kami mendapat diskon hari itu.
"Mbak makasih yaaa kopinya!" begitu ujar Mas Agus ketika kami pamit.
Jadi, gara-gara kopi pahit itu, kami mendapat potongan harga. Dahulu, diskon 500 rupiahpun tak pernah Mas Agus beri.
End of the day
Hari itu tentang kopi. Bermula dari sebuah posting di group dalam jejaring sosial. Seorang kawan menulis dirinya yang baru mendapat kiriman kopi Toraja. Aku menimpali dengan bercerita tentang pabrik kopi jadul yang ada di Bandung. Temanku minta dikirimkan dan dibarter dengan kopi Rangkas. Jadilah, aku kembali mengunjungi Pabrik Kopi Aroma, membeli beberapa untuk dijadikan buah tangan. Tak disangka, gara-gara kopi, aku mengakrabi lagi teman-teman di radio dan mendapat potongan harga di Angkringan Mas Jo.
Diselesaikan 20 September 2013.
Sebenarnya aku bukan penikmat kopi, tapi terima kasih, kopi!
"Berapa Mas? Aku tadi ambil nasi 2, sate ampela 1, sate usus 1, gorengan 2... sama kopi. Berapa?"
"Berapa ya? 10 ribu aja deh!" ia menjawab sekenanya. Giliran Teh Fika laporan.
"Aku nasi 2, sate ati 1, sate kulit 2, sate kerang 2, gorengan 1. Berapa?"
"Jadi 17.500. Eh, 15 ribu aja deh!" Mas Agus tersenyum. Teh Nun juga membayar 10 ribu. Kami mendapat diskon hari itu.
"Mbak makasih yaaa kopinya!" begitu ujar Mas Agus ketika kami pamit.
Jadi, gara-gara kopi pahit itu, kami mendapat potongan harga. Dahulu, diskon 500 rupiahpun tak pernah Mas Agus beri.
End of the day
Hari itu tentang kopi. Bermula dari sebuah posting di group dalam jejaring sosial. Seorang kawan menulis dirinya yang baru mendapat kiriman kopi Toraja. Aku menimpali dengan bercerita tentang pabrik kopi jadul yang ada di Bandung. Temanku minta dikirimkan dan dibarter dengan kopi Rangkas. Jadilah, aku kembali mengunjungi Pabrik Kopi Aroma, membeli beberapa untuk dijadikan buah tangan. Tak disangka, gara-gara kopi, aku mengakrabi lagi teman-teman di radio dan mendapat potongan harga di Angkringan Mas Jo.
Diselesaikan 20 September 2013.
Sebenarnya aku bukan penikmat kopi, tapi terima kasih, kopi!
Comments